Alaku
AlakuAlakuAlakuAlakuAlaku

Kontroversi Kejari Oku Selatan Terkait Sayembara Kasus Korupsi

Kontroversi Kejari Oku Selatan Perihal Sayembara Kasus Korupsi – Foto Dok Detikcom

OKU Selatan, Alaku News – Kejaksaan Negeri (Kejari) Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan mendapat sorotan tajam setelah menggelar sayembara untuk menangkap tersangka korupsi pengadaan alat pencegahan Covid-19 senilai Rp 1,3 miliar, Leksi Yandi. Langkah ini dinilai sebagai tindakan tidak profesional oleh sejumlah pihak, termasuk Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), Dr. Martini Idris. Tentu saja hal ini menjadi sebuah Kontroversi Kejari Oku Selatan.

Dr. Martini Idris, dalam pernyataannya, mengkritik tindakan Kejari OKU Selatan yang menggelar sayembara sebagai langkah yang tidak etis dalam proses hukum. Menurutnya, masalah ini berkaitan dengan anggaran, dan seharusnya ditangani dengan cara yang lebih tepat sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.

Lebih lanjut, Dr. Martini Idris menyoroti bahwa Kejaksaan memiliki sumber daya manusia yang profesional dan memadai untuk menangani kasus seperti ini. Oleh karena itu, tindakan menggelar sayembara dianggap tidak perlu dan dapat menciptakan ketidakpercayaan terhadap lembaga hukum.

Dr. Martini Idris, seorang akademisi dari Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), mengeluarkan pernyataan tegas terkait keputusan Kejaksaan Negeri (Kejari) yang menggelar sayembara untuk menangkap buronan yang dianggap Daftar Pencarian Orang (DPO). Pernyataan tersebut dia sampaikan kepada detikSumbagsel di Palembang pada Kamis (5/10/2023).

Baca Juga:  OJK Klarifikasi Program Pensiun Tambahan dan Potongan Gaji

Dalam pernyataannya, Dr. Martini Idris menyatakan ketidaksetujuannya terhadap langkah Kejari yang menggelar sayembara untuk menangkap DPO. Ia menegaskan bahwa tindakan semacam itu dianggap tidak etis, terutama ketika dilakukan oleh lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan.

“Kalau sekarang kita berbicara anggaran, ketika memang lembaga yaitu Kejaksaan menyatakan bahwa menangkap buronan yang dianggap DPO itu dengan mengeluarkan seyembara, itu rasanya tidak etis,” tegas Dr. Martini.

Lebih lanjut, Martini Idris mengungkapkan bahwa langkah tersebut menciptakan keraguan terhadap profesionalitas Kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya, khususnya dalam hal penyelidikan dan penyidikan terhadap penangkapan DPO. Ia berpendapat bahwa masyarakat seharusnya dapat mempercayai lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan untuk menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya tanpa perlu melibatkan masyarakat umum dalam tugas-tugas tersebut.

“Ini merupakan preseden (penilaian buruk) bagi Kejaksaan Negeri itu sendiri, karena masyarakat yang berpendidikan tinggi pasti menilai Kejaksaan itu sendiri tidak profesional,” tambahnya.

Dr. Martini Idris, seorang akademisi yang mengkritik tajam Kejaksaan Negeri (Kejari) Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan atas keputusan mereka untuk menggelar sayembara penangkapan Daftar Pencarian Orang (DPO), terus memberikan komentarnya terhadap kontroversi ini. Martini mengatakan bahwa tidak hanya tindakan itu yang dipertanyakan, tetapi juga sumber anggarannya.

Baca Juga:  Festival Rempah dan Kawe Kembali Digelar di Sumsel

“Terus anggaran yang dipakai untuk seyembara itu juga patut dipertanyakan anggarannya dari mana. Masyarakat juga bisa melaporkan kejanggalan itu, silahkan saja,” ungkap Martini dalam pernyataannya.

Pernyataan ini mencerminkan keprihatinan atas transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran publik oleh Kejari OKU Selatan. Pertanyaan mengenai sumber dana yang digunakan untuk sayembara tersebut menambah kompleksitas kontroversi yang sedang berlangsung.

Martini Idris juga menyoroti potensi berlanjutnya tindakan serupa di masa depan jika langkah Kejari OKU Selatan ini tidak mendapat tanggapan tegas dari instansi yang berwenang. Ia menyampaikan permintaan kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan (Kejati Sumsel) untuk segera mengambil sikap terkait tindakan Kejari OKU Selatan.

“Bukan tidak mungkin jika ini dibiarkan, kejadian serupa bakal kembali terjadi untuk ke depannya,” Martini mengingatkan.

Selain itu, Martini juga mengungkapkan keprihatinannya atas potensi kerentanan sistem hukum jika tindakan seperti sayembara penangkapan DPO ini diteruskan. Ia menegaskan bahwa tugas penangkapan DPO seharusnya menjadi tanggung jawab Kejaksaan dan penegak hukum, dan melibatkan masyarakat dalam proses ini seharusnya tidak diperlukan.

Meskipun Kejaksaan Negeri (Kejari) Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan mungkin berargumen bahwa menggelar sayembara penangkapan adalah upaya untuk menekan tersangka dan mempersempit ruang geraknya, langkah hukum tersebut tetap mendapat kritik tajam dari berbagai pihak.

Baca Juga:  Desa Wisata Liya Togo di Wakatobi

Dr. Martini Idris, seorang akademisi dari Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), menilai bahwa meskipun ada alasan psikologis dalam tindakan Kejari OKU Selatan, langkah tersebut tidak dapat dibenarkan. Menurutnya, dalam perspektif masyarakat, tindakan seperti ini terkait dengan penggunaan anggaran, yang seharusnya diatur dan dipertanggungjawabkan secara transparan.

“Secara psikologi Kejaksaan tersebut kemungkinan hendak menekan psikologis si buronan agar tidak tenang. Namun, di sisi lain masyarakat pasti menilainya kan beda, karena ini kan lembaga, tentu pastinya berkaitan dengan anggaran,” jelas Dr. Martini Idris.

Kontroversi Kejari Oku Selatan ini muncul setelah Kejari OKU Selatan mengumumkan sayembara penangkapan tersangka tindak pidana korupsi pengadaan alat pencegahan Covid-19, Leksi Yandi, yang diduga merugikan negara sekitar Rp 1,3 miliar. Langkah tersebut menjadi perbincangan hangat di masyarakat dan memunculkan pertanyaan mengenai etika, profesionalisme, dan transparansi dalam tindakan hukum yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum.

 

Penulis : Affif Dwi As’ari

Editor : Affif Dwi As’ari

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Alaku
Alaku

Iklan