Alaku

Tragedi Kanjuruhan: Satu Tahun Berlalu, Keadilan Masih Abu-Abu?

Tragedi Kanjuruhan: Satu Tahun Berlalu, Keadilan Masih Abu-Abu? – Foto Dok Harapan Rakyat

Malang, Alaku News – Seharusnya, tanggal 1 Oktober 2022 hanya merupakan sebuah tanggal biasa dalam jadwal kompetisi BRI Liga 1 2022/2023. Namun, malam itu sebelum Tragedi Kanjuruhan, Stadion Kanjuruhan di Kota Malang, Jawa Timur, menjadi saksi laga yang sarat akan gengsi dan penuh dengan rivalitas, ketika Arema FC bertemu Persebaya dalam pertandingan yang dinantikan oleh para pecinta sepakbola.

Suporter Arema FC, yang dikenal dengan nama Aremania, jelas tidak ingin melewatkan momen bersejarah ini. Mereka berbondong-bondong menuju Stadion Kanjuruhan untuk mendukung tim kesayangan mereka dalam pertandingan yang dijuluki “Derby Emosional.”

Sejak pagi hari, suporter Arema FC mulai berdatangan ke Stadion Kanjuruhan. Mereka membanjiri area sekitar stadion dengan atribut dan bendera kebanggaan klub mereka. Suasana sudah begitu memanas jauh sebelum peluit pertandingan berkumandang.

Namun, sorotan utama terletak pada penjualan tiket yang luar biasa. Sebanyak 42 ribu lembar tiket ludes terjual untuk pertandingan tersebut, meskipun kapasitas Stadion Kanjuruhan hanya mampu menampung 38 ribu penonton. Ini berarti stadion menjadi sesak dan melebihi kapasitas maksimum, menciptakan atmosfer yang luar biasa di antara para suporter.

Tingginya tensi pertandingan sepakbola yang sejatinya telah dipersiapkan dengan baik oleh aparat kepolisian menjadi sorotan utama pada laga Derby Emosional antara Arema FC dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan Malang. Polres Malang, yang saat itu dipimpin oleh AKBP Ferli Hidayat, telah berkoordinasi dengan Aremania sejak jauh-jauh hari untuk memastikan keamanan selama pertandingan. Sementara itu, Kapolrestabes Surabaya, Kombes Akhmad Yusep Gunawan, turun langsung ke Malang untuk mengawal Persebaya dalam pertandingan ini.

Sejak awal, pertandingan berlangsung seperti laga besar lainnya, dengan tingkat intensitas tinggi dari kedua tim yang saling berbalas gol. Suporter dari kedua kubu memberikan dukungan luar biasa, menciptakan atmosfer yang mempesona di dalam stadion.

Namun, ketika wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan, suasana berubah menjadi petaka kelam. Meskipun Persebaya meraih kemenangan tipis 3-2 atas Arema FC, kemenangan tersebut harus dibayar dengan ketegangan yang tinggi dan insiden yang tak diinginkan.

Ketegangan dimulai ketika sejumlah Aremania yang merasa kecewa dengan hasil pertandingan mulai turun ke lapangan. Awalnya, mereka ingin memberikan dukungan, kritik, dan motivasi kepada para pemain Arema FC. Namun, beberapa di antara mereka mulai menciptakan kekacauan di dalam lapangan.

Beberapa suporter yang emosional mencoba mendekati pemain, sementara yang lain mulai membuat onar dengan merusak sebagian fasilitas stadion. Keadaan semakin memanas ketika beberapa bentrokan fisik terjadi di antara suporter dan petugas keamanan yang berusaha menjaga ketertiban.

Baca Juga:  Pentingkah Pergantian Rumput di JIS Hingga Menghabiskan Biaya 6M?

Pertandingan Derby Emosional antara Arema FC dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, berubah menjadi malapetaka saat langkah kontroversial yang diambil oleh sejumlah Aremania diikuti oleh ribuan suporter lainnya, memicu kekacauan dan tindakan drastis dari aparat keamanan.

Insiden itu dimulai ketika sejumlah Aremania memutuskan untuk memasuki lapangan, mengikuti langkah kontroversial yang diambil oleh sebagian dari mereka. Suasana di stadion makin menjadi-jadi, dengan para suporter berdesakan dan suasana menjadi semakin kacau.

Dalam upaya untuk mengendalikan situasi, aparat keamanan memutuskan untuk menembakkan gas air mata ke dalam lapangan, khususnya di tribun selatan dan tribun utara stadion. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk membubarkan suporter dan mengembalikan ketertiban dalam pertandingan. Namun, tembakan gas air mata itu ternyata berubah menjadi malapetaka yang tidak terduga.

Para penonton yang terkena dampak gas air mata panik, mata mereka perih, dan mereka berusaha menuju pintu keluar stadion. Kondisi semakin buruk ketika sejumlah pintu stadion, termasuk Gate 13, tidak sepenuhnya terbuka. Steward atau petugas penjaga pintu juga tidak ada di tempat untuk membantu mengatur aliran penonton yang keluar.

Akibatnya, banyak penonton yang jatuh karena kesulitan bernapas akibat dampak gas air mata yang sangat kuat. Sebagian lainnya terhimpit dan terinjak-injak dalam upaya menyelamatkan diri mereka dalam kondisi kepanikan yang melanda.

Sebuah tragedi mengerikan melanda dunia sepak bola Indonesia pada tanggal 1 Oktober 2022, saat pertandingan Derby Emosional antara Arema FC dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan Malang berubah menjadi malapetaka besar. Penggunaan gas air mata, yang dilarang keras oleh FIFA, menjadi penyebab utama insiden yang menewaskan puluhan orang dan melukai ratusan lainnya. Peristiwa ini akan selalu menjadi kenangan kelam dalam sejarah sepak bola Indonesia.

Penggunaan gas air mata dalam pertandingan sepak bola adalah tindakan yang sangat tidak dibenarkan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations, pasal 19 huruf b, yang secara tegas melarang penggunaan bahan kimia seperti gas air mata dalam stadion sepak bola.

Saat tensi pertandingan mencapai puncaknya dan kekacauan meletus di dalam stadion, para pemain Persebaya dan ofisial tim segera meninggalkan lapangan menggunakan kendaraan taktis (rantis) sebagai langkah perlindungan. Namun, kendaraan Persebaya terjebak dalam kerusuhan yang terjadi di luar Stadion Kanjuruhan, di mana sejumlah Aremania menyerang dan merusak kendaraan tersebut.

Baca Juga:  Viral! Siswa SMAN 03 Kota Semarang Diterima di 21 Universitas Luar Negeri!

Beruntung, seluruh penggawa, pelatih, dan ofisial Persebaya selamat tanpa mengalami cedera serius. Namun, situasi di sekitar Stadion Kanjuruhan semakin memburuk. Para korban tergeletak tak sadarkan diri, dan mobil-mobil polisi terbakar sebagai akibat dari kerusuhan yang tak terkendali.

Awalnya, jumlah korban hanya dapat dihitung dengan jari, tetapi seiring berjalannya waktu, angka tersebut terus bertambah hingga mencapai angka yang mengejutkan: 135 orang meninggal sia-sia dalam peristiwa ini. Tanggal 1 Oktober 2022 menjadi memori paling kelam dalam sejarah sepak bola Indonesia.

Dalam penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), gas air mata diidentifikasi sebagai penyebab utama terjadinya Tragedi Kanjuruhan. Ketidakpatuhan terhadap regulasi FIFA dan penggunaan gas air mata dalam situasi yang tidak tepat menjadi faktor utama yang memicu insiden tersebut.

Sebagai tindak lanjut atas peristiwa ini, Kapolres Malang, AKBP Ferli Hidayat, dicopot dari jabatannya oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan dimutasikan sebagai Pamen SDM Polri. Ini adalah langkah tegas yang diambil oleh kepolisian untuk mengambil tanggung jawab atas insiden yang mengguncang dunia sepak bola Indonesia ini.

Pasca-Tragedi Kanjuruhan yang mengguncang dunia sepak bola Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah mengambil langkah tegas dengan menetapkan enam tersangka yang terlibat dalam insiden mengerikan tersebut. Tiga dari mereka berasal dari unsur panitia penyelenggara pertandingan dan tiga lainnya adalah petugas kepolisian yang bertugas di lokasi kejadian.

Keenam tersangka yang telah ditetapkan adalah Akhmad Hadian Lukita (Direktur Utama PT Liga Indonesia Batu), Abdul Haris (Ketua Panitia Pelaksana Arema FC), Suko Sutrisno (Security Officer), Wahyu Setyo Pranoto (Kabagops Polres Malang), Hasdarman (Danki III Brimob Polda Jawa Timur), dan Bambang Sidik Achmadi (Kasat Samapta Polres Malang).

Tiga tersangka yang berasal dari unsur panitia penyelenggara pertandingan, yaitu Akhmad Hadian Lukita, Abdul Haris, dan Suko Sutrisno, dijerat dengan Pasal 359 dan/atau Pasal 360 dan/atau pasal 103 ayat 1 juncto Pasal 52 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan. Pasal-pasal tersebut terkait dengan pelanggaran tindakan keamanan dalam penyelenggaraan pertandingan sepak bola.

Sementara itu, tiga tersangka yang merupakan petugas kepolisian, yaitu Wahyu Setyo Pranoto, Hasdarman, dan Bambang Sidik Achmadi, dijerat dengan Pasal 359 dan/atau Pasal 360 KUHP. Pasal-pasal tersebut terkait dengan keterlibatan petugas kepolisian dalam peristiwa yang mengakibatkan tragedi di Stadion Kanjuruhan.

Baca Juga:  Lelah Beribadah? Ayo Mengubah Niat Menjadi Lillah untuk Menemukan Makna yang Lebih Dalam

Dalam perkembangan terbaru terkait Tragedi Kanjuruhan yang mengguncang Indonesia pada tahun lalu, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan vonis bebas yang sebelumnya dijatuhkan terhadap dua petugas polisi, Wahyu Setyo Pranoto dan Bambang Sidik Achmadi, dan menggantinya dengan vonis hukuman penjara. Keputusan ini telah memicu respons beragam dari masyarakat.

Sebelumnya, ketika dihadapkan ke meja hijau pengadilan tingkat pertama, Wahyu Setyo Pranoto dan Bambang Sidik Achmadi dibebaskan oleh pengadilan. Sementara itu, Hasdarman dihukum 1 tahun 6 bulan penjara, Abdul Haris dihukum 1 tahun 6 bulan penjara, dan Suko Sutrisno dihukum 1 tahun penjara. Akhmad Hadian Lukita, Direktur Utama PT Liga Indonesia Batu, dibebaskan karena tidak cukup bukti.

Namun, pada Rabu, 23 Agustus 2023, Mahkamah Agung (MA) mengambil tindakan drastis dengan membatalkan vonis bebas terhadap Wahyu Setyo Pranoto dan Bambang Sidik Achmadi. MA menjatuhkan vonis 2 tahun 6 bulan penjara kepada Wahyu Setyo Pranoto dan 2 tahun penjara kepada Bambang Sidik Achmadi.

Menurut amar singkat kasasi yang dilansir dari detikNews, “Terdakwa Wahyu Setyo Pranoto SH SIK MIK telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati, dan karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka berat, dan karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga berhalangan melakukan pekerjaan untuk sementara.”

Sidang yang berujung pada pembatalan vonis bebas dua petugas polisi itu dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Agung Prof Surya Jaya, dengan anggota hakim agung Brigjen TNI (Purn) Hidayat Manao dan hakim agung Jupriyadi.

Meski sekarang telah berlalu satu tahun sejak tragedi tersebut terjadi, keluarga korban Tragedi Kanjuruhan masih mencari keadilan. Mereka menganggap hukuman yang dijatuhkan kepada para tersangka masih terlalu ringan dan belum memberikan keadilan kepada keluarga korban yang kehilangan orang yang mereka cintai dalam tragedi tersebut.

Sampai saat ini, suara-suara yang menuntut ‘Usut Tuntas Tragedi Kanjuruhan’ masih terus bergema di masyarakat, meskipun Stadion Kanjuruhan akan segera dirobohkan untuk proses renovasi. Keputusan MA ini diharapkan akan menjadi langkah menuju keadilan yang lebih baik bagi keluarga korban dan masyarakat luas.

Komentar

1 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan