Lubuk Linggau, Alaku News – Sejarah merupakan salah satu warisan berharga yang perlu dijaga dan diwariskan kepada generasi penerus. Kota Lubuk Linggau, Provinsi Sumatera Selatan, memiliki sejarah yang kaya, tetapi sayangnya, beberapa peristiwa bersejarah yang terjadi di Lapangan Merdeka Lubuk Linggau, kini Taman Kurma, masih jarang diketahui oleh generasi muda. Erlian Susatyo, seorang penggiat sejarah, membuka tabir peristiwa bersejarah ini melalui bukunya yang berjudul ‘Sejarah Lubuk Linggau Dari Masa Kolonial Hingga Kemerdekaan’.
Lapangan Merdeka Lubuk Linggau yang kini berubah fungsi menjadi Taman Kurma, yang merupakan bagian dari kompleks Masjid Agung Assalam di Kota Lubuk Linggau, adalah saksi bisu perjuangan para pahlawan dan masyarakat dalam merebut kemerdekaan. Erlian Susatyo mengungkapkan bahwa setidaknya ada lima peristiwa bersejarah yang terjadi di tempat ini, yang seharusnya menjadi pengetahuan umum bagi warga Lubuk Linggau, terutama generasi muda.
apangan Merdeka, yang kini berfungsi sebagai Taman Kurma dan merupakan satu kesatuan dengan Masjid Agung Assalam di Kota Lubuk Linggau, Provinsi Sumatera Selatan, memiliki peran bersejarah yang penting dalam proses penyerahan kedaulatan wilayah ini. Melalui serangkaian perjuangan fisik bersenjata dan diplomasi, termasuk Agresi Militer Belanda I tahun 1947 dan Agresi Militer Belanda II tahun 1948, Republik Indonesia berhasil memaksa Belanda menyerahkan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949.
Setelah penyerahan kedaulatan yang berlangsung di Den Haag dan Jakarta, proses serah terima kedaulatan juga berlanjut di berbagai daerah de facto Republik Indonesia yang sebelumnya diduduki oleh Belanda. Kota Lubuk Linggau, yang saat itu berada di bawah pemerintahan Kawedanan Musi Ulu yang merupakan bagian dari Kabupaten Musi Ulu Rawas yang dikuasai oleh Belanda, turut mengalami momen bersejarah ini.
Penyerahan kedaulatan wilayah Lubuk Linggau kepada pihak Republik Indonesia diwakili oleh Letkol Bambang Utoyo, Residen Abdul Rozak, Bupati Adjis, Kapten AR. Saroingsong, serta sejumlah pejabat sipil militer lainnya. Lapangan Merdeka menjadi saksi dari momen penting ini, di mana bendera Merah Putih dikibarkan sebagai simbol kemenangan dan kemerdekaan.
Erlian Susatyo, seorang penggiat sejarah yang terkenal di Kota Lubuk Linggau, menjelaskan bahwa peristiwa ini menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah nasional yang harus diingat dan dihargai. Lapangan Merdeka bukan hanya tempat serah terima kedaulatan, tetapi juga simbol semangat perjuangan dan kemenangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan.
Lapangan Merdeka, yang kini menjadi Taman Kurma dan merupakan bagian dari kompleks Masjid Agung Assalam di Kota Lubuk Linggau, Provinsi Sumatera Selatan, memiliki sejarah yang sangat berarti sebagai tempat pengibaran pertama Bendera Merah Putih di daerah ini. Peristiwa ini merupakan bagian tak terpisahkan dari perjuangan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada masa tersebut, berita mengenai proklamasi kemerdekaan yang terjadi di Jakarta baru sampai ke daerah-daerah di Indonesia beberapa hari kemudian. Hal ini dapat dimaklumi karena alat komunikasi saat itu masih dikuasai oleh pihak Jepang yang masih berkuasa. Di Lubuk Linggau, berita proklamasi kemerdekaan akhirnya diterima pada tanggal 19 Agustus 1945.
Sosok Bunshu-tyo Dairi (Wakil Bupati Jepang) yaitu Raden Ahmad Abusamah, yang juga mendengar berita tersebut, merasa penting untuk segera mengambil tindakan. Pada sore harinya, di kediamannya di Talang Bandung Kiri, Raden Ahmad Abusamah berkumpul dengan masyarakat dan pemuda pejuang setempat. Mereka mendesak agar Bunshu-tyo Swada menyerahkan kekuasaan kepada bangsa Indonesia dari tangan Jepang.
Pengambilalihan kekuasaan ini berhasil dilakukan atas nama pemerintahan Republik Indonesia untuk wilayah Bunshu Musikami Rawas, yang kemudian berubah namanya menjadi Kabupaten Musi Ulu Rawas. Keputusan ini disambut dengan penuh semangat dan kegembiraan oleh warga masyarakat.
Sebagai tanda pengibaran pertama Bendera Merah Putih di wilayah ini, bendera tersebut dikibarkan di City Square (alun-alun kota) yang kemudian dikenal oleh masyarakat Lubuk Linggau sebagai Lapangan Merdeka. Momen bersejarah ini menjadi simbol kemerdekaan dan semangat perjuangan rakyat Lubuk Linggau dalam merebut hak-hak mereka.
Warga Lubuk Linggau juga mengikuti semangat pengibaran bendera ini dengan mengibarkan Merah Putih di depan rumah-rumah mereka. Suara teriakan “merdeka” menggema di seluruh kota, sambil anak-anak berlari-larian dengan semangat kemerdekaan yang membara.
Erlian Susatyo, seorang penggiat sejarah, menjelaskan bahwa Lapangan Merdeka, yang sekarang menjadi Taman Kurma, adalah saksi bisu dari momen bersejarah ini. Bendera Merah Putih yang berkibar pertama kali di sini adalah bukti nyata semangat dan tekad rakyat Lubuk Linggau dalam meraih kemerdekaan.
Lapangan Merdeka, yang kini berperan sebagai Taman Kurma dalam kompleks Masjid Agung Assalam di Kota Lubuk Linggau, Provinsi Sumatera Selatan, memiliki sejarah panjang yang berkaitan erat dengan perannya sebagai Alun-Alun Kota, atau City Square, pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Penamaan ini mencerminkan pentingnya tempat ini dalam sejarah dan perkembangan kota ini.
Berdasarkan catatan sejarah, Lapangan Merdeka dulunya adalah City Square, yang berfungsi sebagai alun-alun kota. Ini terjadi pada masa Lubuk Linggau menjadi ibukota pemerintahan Onder Afdeeling Moesi Oeloe dari tahun 1934 hingga 1942 di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Selama periode ini, City Square menjadi pusat aktivitas kota. Berbagai gedung infrastruktur pendukung pemerintahan, seperti gedung perkantoran dan rumah dinas jabatan controleur (kepala pemerintahan masa itu), berlokasi di sekitar City Square. Salah satu dari bangunan ini, yang sekarang menjadi Gedung Museum Subkoss, menjadi saksi bisu perkembangan kota Lubuk Linggau selama masa pemerintahan kolonial Belanda.
Letaknya yang strategis, berada di tengah pusat kota, membuat City Square menjadi pusat kegiatan administratif dan sosial masyarakat. Semua pusat pemerintahan di sekitarnya menciptakan sebuah pusat yang vital bagi kehidupan kota dan masyarakatnya.
Namun, sejarah Kota Lubuk Linggau mengalami perubahan besar ketika Belanda menyerah kepada Jepang pada tahun 1942 selama Perang Dunia II. Menurut perjanjian Kalijati di Subang, Jawa Barat, wilayah jajahan Belanda, termasuk Lubuk Linggau, dialihkan ke tangan Jepang. Sebagai hasilnya, City Square dan semua bangunan perkantoran yang digunakan oleh Belanda diambil alih oleh Jepang.
Di bawah pemerintahan Jepang, City Square digunakan untuk berbagai kegiatan latihan militer bagi pemuda-pemuda Lubuk Linggau. Sejarahnya sebagai alun-alun kota mengalami transformasi selama masa pendudukan Jepang.
Sejarah ini terkait erat dengan masa revolusi fisik kemerdekaan Indonesia, di mana Lubuk Linggau menjadi pusat kedudukan militer Divisi VIII/Garuda yang mencakup wilayah Sumatera bagian Selatan, termasuk Palembang, Bengkulu, Jambi, dan Lampung.
Ketika Indonesia memasuki masa revolusi fisik kemerdekaan, status Lubuk Linggau menjadi sangat penting. Kota ini menjadi pusat kedudukan militer Divisi VIII/Garuda untuk wilayah Sumatera bagian Selatan. Divisi ini memiliki peran kunci dalam menjaga dan mempertahankan kemerdekaan di wilayah-wilayah tersebut.
Pemerintah Republik Indonesia kemudian memutuskan untuk menyatukan seluruh unsur militer yang ada, termasuk Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan Laskar Rakyat, sehingga hanya ada satu kesatuan yakni Tentara Nasional Indonesia (TNI). Proses ini merupakan bagian dari upaya untuk menyatukan kekuatan dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Dalam konteks ini, Lapangan Merdeka memainkan peran penting. Seluruh unsur TRI dan Laskar Rakyat dalam Divisi VIII/Garuda di Sumatera Selatan digabungkan menjadi Tentara Nasional Indonesia. Beberapa kelompok, seperti Laskar Napindo, Pesindo, dan KRIS dengan unsur TRI, bergabung menjadi Batalyon 36 yang dikomandani oleh Kapten Abi Hasan Said pada Oktober 1947. Sementara Laskar Hizbullah dengan unsur TRI dilebur menjadi Batalyon 38 yang dikomandani oleh Kapten A. Baidjuri pada November 1947.
Proses penyatuan ini dilakukan di Lapangan Merdeka, yang menjadi saksi bisu dari momen bersejarah ini. Kolonel Maludin Simbolon, selaku Panglima Divisi VIII/Garuda, memainkan peran kunci dalam melantik mereka sebagai anggota TNI. Langkah ini penting untuk membangun kesatuan yang kuat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Lapangan Merdeka, yang saat ini dikenal sebagai Taman Kurma dalam kompleks Masjid Agung Assalam di Kota Lubuk Linggau, Provinsi Sumatera Selatan, memiliki makna yang sangat istimewa sebagai tempat reuni dan berkumpulnya para veteran pejuang kemerdekaan Indonesia. Momen ini merupakan wujud penghargaan kepada para pahlawan yang berjuang melalui berbagai peristiwa selama masa revolusi fisik kemerdekaan dari tahun 1945 hingga 1949.
Setelah mengalami berbagai peristiwa bersejarah dalam perjuangan revolusi fisik kemerdekaan, para pejuang yang tergabung dalam kesatuan militer SUBKOSS (Sub Komandemen Sumatera Selatan) merasa perlu untuk berkumpul kembali dan mengenang perjalanan berat mereka. Kegiatan reuni dan napak tilas perjuangan daerah Sumatera Selatan di Lubuklinggau diadakan pada tanggal 14 hingga 15 Januari 1988.
Kegiatan reuni dan napak tilas ini mengundang berbagai veteran pejuang, termasuk yang terkenal seperti Maludin Simbolon, Ibnu Sutowo, Abi Hasan Said, dan Yahya Bahar. Mereka adalah pahlawan-pahlawan yang terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui berbagai peristiwa bersejarah.
Menteri Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia saat itu, Bapak H. Alamsyah Ratu Prawiranegara, juga hadir dalam acara ini untuk memberikan penghormatan kepada para veteran SUBKOSS dan turut serta dalam kegiatan reuni ini.
Lapangan Merdeka menjadi tempat yang sarat dengan makna sejarah, di mana veteran-veteran pejuang berkumpul untuk berbagi pengalaman dan kenangan mereka selama masa perjuangan. Selain itu, di sini juga dilakukan upacara peresmian Museum Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya, yang terletak di kawasan Lapangan Merdeka ini. Museum ini bertujuan untuk memperingati dan mengabadikan perjuangan para pejuang SUBKOSS serta menjadi saksi bisu dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.