Bengkulu – Ketua Tim Pemenangan Dedy-Agi, Lukman Syafawi, mengungkapkan alasan Dedy-Agi selalu menyinggung soal uang atau kemandirian fiskal saat debat pertama.
Lukman menyampaikan, hal tersebut karena pasangan Dedy-Agi melihat saat ini keterbatasan anggaran menjadi masalah utama pemerintah Kota Bengkulu.
Menurut Lukman, permasalahan utama Kota Bengkulu saat ini terletak pada ketidakmandirian daerah. Kota Bengkulu sangat bergantung pada pemerintah pusat dalam pendanaan.
“Sekitar 85 persen dari total APBD Kota Bengkulu masih bergantung pada transfer pusat. Hanya 16 persen saja yang merupakan Pendapatan Asli Daerah (PAD),” ungkapnya.
Kondisi ini, menurutnya, mencerminkan kurangnya kemandirian fiskal yang akhirnya membatasi fleksibilitas keuangan kota dalam mendukung pembangunan yang lebih menyeluruh.
Lukman juga menyoroti struktur belanja yang dianggap kurang optimal. Dari total APBD Kota Bengkulu sebesar Rp1,1 triliun, 73 persen dialokasikan untuk belanja operasi atau rutin, yang sebagian besarnya habis untuk gaji pegawai hingga mencapai 50 persen dari total APBD.
Sementara itu, belanja modal, yang merupakan investasi jangka panjang untuk pembangunan fisik dan infrastruktur, hanya mendapat alokasi sebesar 19 persen.
“Kondisi ini bukan sekadar soal tata kelola, tetapi juga soal kemampuan kita untuk menarik sumber pendanaan. Tanpa meningkatan PAD, juga kolaborasi dengan pusat dan swasta, sulit meningkatkan proporsi belanja modal ke minimal 40 persen, juga sulit menjalankan program pembangunan,” jelas Lukman.
Peningkatan ini, menurutnya, diperlukan agar kota bisa mengembangkan infrastruktur yang lebih baik serta meningkatkan kualitas layanan publik dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan elektronik.
Dengan latar belakang ini, Dedy dan Agi menawarkan program yang berfokus pada pengembangan kemandirian fiskal sebagai upaya meningkatkan kapasitas anggaran. Mereka juga mendorong peningkatan PAD melalui optimalisasi sektor pariwisata dan pengembangan UMKM yang bisa menarik investasi.
Lukman menegaskan, “Tanpa langkah konkret dalam menambah pendapatan, sulit berharap pelayanan publik bisa mengalami perubahan signifikan.”