Dampak buruk dari COVID-19 terhadap kesehatan tampaknya semakin terkuak dengan adanya berbagai studi yang menunjukkan efek yang mengkhawatirkan bahkan pada orang-orang yang sudah lama sembuh dari infeksi tersebut. Meskipun mereka telah pulih, kondisi kesehatan mereka terus memburuk, termasuk gejala yang jarang terduga seperti kabut otak, disfungsi ereksi, kerusakan organ, dan rambut rontok.
Para peneliti dan ahli kesehatan terus mempelajari dampak jangka panjang COVID-19, yang melibatkan sejumlah efek yang mengkhawatirkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa virus corona dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang pada organ tubuh, termasuk jantung, paru-paru, dan otak.
Salah satu efek yang semakin terkuak adalah kabut otak, di mana penderitanya mengalami kesulitan kognitif yang signifikan, seperti penurunan daya ingat dan fokus. Disfungsi ereksi juga menjadi masalah yang muncul pada sejumlah pria yang pernah terinfeksi COVID-19, yang merupakan dampak yang tidak dianggap serius sebelumnya.
Seorang dokter dari Mount Sinai Queens, yang memilih untuk tidak disebutkan namanya, berbagi pengalaman mengejutkan dalam merawat pasien yang mengalami penyakit prion yang fatal. Ia menyatakan bahwa kondisi pasiennya sangat mungkin diperparah oleh infeksi COVID-19. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami hubungan antara COVID-19 dan perkembangan penyakit otak yang mematikan.
Kondisi kesehatan yang semakin banyak diidentifikasi sebagai dampak jangka panjang dari COVID-19 menegaskan pentingnya upaya pencegahan, vaksinasi, dan perhatian medis yang terus-menerus terhadap pasien yang telah sembuh dari infeksi virus corona. Masyarakat diimbau untuk mematuhi protokol kesehatan dan mengikuti vaksinasi guna melindungi diri mereka dari risiko komplikasi jangka panjang yang mungkin timbul setelah sembuh dari COVID-19.
Seorang pria berusia 62 tahun asal Queens, New York, mengalami perjalanan kesehatan yang mengkhawatirkan setelah terinfeksi COVID-19. Kasus ini menjadi sorotan setelah artikel yang menceritakannya dipublikasikan dalam American Journal of Case Reports. Awalnya, pria tersebut mengalami kelambatan dalam beraktivitas dan mengalami ngiler yang tidak terkontrol selama dua bulan terakhir.
Pria yang identitasnya tidak diungkapkan dalam artikel tersebut akhirnya ditemukan terjatuh di rumahnya dan dibawa ke fasilitas kesehatan. Saat dibawa ke rumah sakit, kondisinya sangat memprihatinkan. Ia tidak mampu berjalan, tidak dapat berbicara, dan mengalami hentakan cepat yang tiba-tiba dan terputus-putus.
Dalam laporan studi kasus tersebut, diketahui bahwa pria tersebut positif terinfeksi COVID-19, meskipun awalnya tidak menunjukkan gejala selain dari manifestasi pernapasan yang khas pada kasus COVID-19. Tim medis melakukan serangkaian tes, termasuk CT scan dan MRI otak, namun hasil kedua tes tersebut terlihat normal. Kondisi kesehatan pria tersebut terus memburuk seiring berjalannya waktu.
“Seiring berjalannya waktu, pasien menjadi semakin bisu dan mengalami kesulitan menelan makanan lunak, sehingga memerlukan pemasangan selang PEG (gastrostomi endoskopi perkutan),” tulis para dokter yang menangani kasus ini. “Dia kemudian mengalami kejang dengan nyeri hebat pada fleksi-ekstensi pasif. Enam minggu setelah masuk, pasien dinyatakan meninggal.”
Tim medis yang menangani kasus ini menduga bahwa kondisi pasien tersebut menunjukkan gejala penyakit prion. Meskipun demikian, diagnosis penyakit prion ini masih harus dipastikan melalui diagnosis generasi saraf klinis yang lebih mendalam.
Temuan ini memunculkan kekhawatiran lebih lanjut terkait dampak jangka panjang dari COVID-19 terhadap sistem saraf manusia. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memahami kaitannya dengan perkembangan penyakit prion dan dampak jangka panjang lainnya terkait COVID-19. Masyarakat diingatkan untuk tetap waspada terhadap gejala-gejala yang mungkin muncul setelah sembuh dari COVID-19 dan segera mencari bantuan medis jika mengalami gejala yang mencemaskan.
Dalam upaya memahami lebih dalam tentang dampak COVID-19 pada sistem saraf manusia, sekelompok dokter dan peneliti telah melakukan penelitian mendalam terhadap beberapa kasus pasien yang sebelumnya dinyatakan positif terinfeksi virus Corona. Penelitian ini mengidentifikasi empat kasus yang menunjukkan gejala dan karakteristik penyakit prion setelah pasien tersebut terinfeksi COVID-19.
Fakta menarik ini telah mendorong para ahli untuk mempertanyakan apakah virus Corona baru ini dapat berkontribusi terhadap perkembangan penyakit prion, suatu kelainan neurodegeneratif progresif langka yang mempengaruhi manusia dan hewan.
“Apakah COVID-19 berkontribusi pada penyakit prionnya atau mengakibatkan korelasi klinisnya tidak dapat ditentukan,” kata para peneliti, menegaskan pentingnya penelitian lebih lanjut untuk memahami hubungan potensial antara COVID-19 dan penyakit prion.
Meskipun para ahli meyakini bahwa kasus-kasus ini kemungkinan besar disebabkan oleh COVID-19, namun mereka juga menyoroti bahwa hingga saat ini belum ada bukti pasti selain temuan yang tidak disengaja. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut dan teliti untuk memahami apakah COVID-19 dapat memicu perkembangan penyakit prion pada individu yang terinfeksi.
Apa Itu Penyakit Prion?
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), penyakit prion adalah kelainan neurodegeneratif progresif yang langka, menyerang manusia dan hewan. Penyakit ini ditandai dengan masa inkubasi yang lama, perubahan spongiform khas yang terkait dengan hilangnya saraf, serta kegagalan untuk menginduksi respons inflamasi.
Salah satu contoh penyakit prion yang paling terkenal adalah Creutzfeldt-Jakob, yang diketahui menyebabkan perubahan unik pada jaringan otak, mempengaruhi koordinasi otot, pemikiran, dan memori. Di Amerika Serikat, terdapat sekitar 350 kasus penyakit prion yang dilaporkan setiap tahunnya. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengungkap potensi keterkaitan antara COVID-19 dan penyakit prion guna memahami dampaknya secara lebih komprehensif dan mendalam.