Sesuai dengan gugatan yang dilayangkan Yenny Ong mengenai tempat ibadah yang dijadikan panggung kampanye. Mahkamah Konstitusi (MK) dengan tegas melarang hal itu. Mengenai pasal yang telah digugat Yenny Ong dalam Pasal 280 ayat 1 huruf h UU Pemilu yang berbunyi:

Pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

Penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan boleh dipergunakan jika peserta pemilu hadir tanpa embel-embel atribut kampanya pemilu dan ada undangan dari pihak yang terkait seperti yang disebutkan dalam UU Pemilu 280 ayat 1 huruf h.

Tempat ibadah dan kampanye memiliki peran dan fungsi yang berbeda dalam masyarakat. Tempat ibadah adalah tempat spiritual dan sakral yang dihormati oleh penganut agama, sementara kampanye adalah upaya politik untuk memengaruhi opini publik dalam proses pemilihan umum. Pada umumnya, tempat ibadah dihormati dan dijaga dari pengaruh politik atau kampanye, meskipun pada beberapa kasus, tempat-tempat ibadah bisa menjadi tempat untuk mengadakan acara-acara sosial atau politik dengan etika dan sensitivitas yang tepat.

Baca Juga:  Dugaan TGR Kandidat Bupati Kepahiang Diselidiki Bawaslu

Karena gugatan itu, MK akhirnya mengabulkan dan memutuskan melarang kampanye di tempat ibadah.

“Mengabulkan permohonan untuk sebagian,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan di channel YouTube, Selasa (15/8/2023) dilangsir detiknews.

MK sudah menghapus penjelasan mengenai pasal 280 ayat 1 huruf h UU Pemilu. Adapun isinya telah direvisi. MK menyatakan isi pasal 280 ayat 1 huruf h UU Pemilu telah resmi diubah menjadi;

Pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.

 

MK menyebut menggunakan tempat ibadah sebagai tempat untuk kampanye menjadi pertimbangan selama ini. Karena hal ini bisa menjadi pemicu emosi dan kontroversi yang bisa merusak nilai-nilai keagamaan. Terlebih lagi, kondisi masyarakat tanah air sedang sensitif dengan isu yang berkaitan politik identitas.

Baca Juga:  Sopir Ambulans yang Tewaskan 2 Orang Ditetapkan Sebagai Tersangka

Wakil Ketua Umum Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra juga menjelaskan dengan membacakan pertimbangan. Bahwa pembatasan penggunaan tempat ibadah untuk kepentingan berkampanye tidaklah berarti adanya pemisahan antara agama dan institusi negara. Namun lebih ke arah perbedaan fungsi antara institusi keagamaan dengan ranah liar agama dalam masyarakat. Terutama masalah kepentingan politik yang memiliki nilai sensitif yang tinggi.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) iketok palu setelah suara bulat dari 9 hakim.

Mendengar keputusan itu, Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) mendukung adanya hasil sidang MK tersebut.

“Setuju. Biarkan tempat ibadah jadi tempat di mana jamaah bisa guyub,” kata Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera kepada wartawan, Selasa (15/8/2023).

Baca Juga:  Presiden Jokowi: Kondisi Politik Indonesia Seperti Drakor

Anggota Komisi II DPR , menilai walaupun begitu pendidikan politik sangat perlu dilakukan di tempat-tempat yang disebutkan dalam Pasal 280 Ayat 1 huruf h dengan poin penting tidak diisi oleh kampanye. Menurutnya, pendidikan politik diperlukan agar para jamaah dari agama mana pun cerdas dan menjadi pemilih rasional.

Ia juga menyarankan agar pendidikan politik jangan diisi langsung oleh seorang politikus, melainkan akademisi. Sebab, menurut Mardani politikus yang ikut dalam kompetisi kebanyakan tidak bijak dalam memberikan pendidikan politik tersebut.

Tempat ibadah dan kampanye adalah dua hal yang memiliki peran dan fungsi yang berbeda dalam konteks kehidupan sosial dan politik.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan