Alaku

Jakarta, repoeblik.com – Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) khususnya melalui jalur zonasi saat ini banyak dikeluhkan oleh masyarakat, dan menimbulkan banyak masalah mengingat besarnya kuota masuk jalur zonasi dibanding kuota masuk jalur lainnya. Hal itu diungkap Wakil Ketua Komite III Abdul Hakim saat membuka rapat dalam rangka inventarisasi materi Pengawasan atas Pelaksanaan UU No.20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Terkait Penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Sistem Zonasi, di Gedung DPD RI, Selasa (20/8/2024).

“Sistem PPDB jalur zonasi yang diharapkan dapat menjadi solusi pemerataan akses pendidikan, justru menimbulkan masalah baru,” ucap Abdul Hakim.

Ia melanjutkan, temuan lain yang diperoleh Ombudsman RI pada PPDB tahun 2022 yang dilakukan di tingkat SMP dan SMA ditemukan adanya jalur khusus yang disediakan oleh masing-masing sekolah yang hanya diperuntukkan kepada calon peserta didik yang dititipkan oleh sejumlah pihak tertentu. Selain itu, ditemukan jalur penerimaan lain yang dipastikan tidak tercantum dalam Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta didik Baru pada TK, SD, SMP, SMA, dan SMK.

Baca Juga:  Tujuan Medis Donor Darah Bagi Manusia!

“Komite III DPD RI melakukan pengawasan dan menyerap aspirasi masyarakat atas pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) khususnya sistem zonasi,” tambahnya.

Masih di forum yang sama, Anggota DPD RI Sumatera Utara Dedi Iskandar Batubara menyoroti problem dalam PPDB yang sama dari tahun ke tahun dengan adanya indikasi ketidakjujuran dari semua pihak baik penyelenggara pendidikan sampai orang tua peserta didik dalam mendapatkan kuota zonasi.

“Identitas tunggal harus disegerakan untuk jadi sistem pengawasan yang lebih baik,” kata Dedi.

Menanggapi itu, Anggota DPD RI Kalimantan Tengah, Habib Said Abdurrahman menyuarakan bahwa di daerah terpencil banyak ditemui anak didik yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya karena terkendala lokasi dan akses yang sulit.

“Perlu penambahan kuota dan pembangunan sekolah baru di daerah terpencil,” tukasnya.

Senada dengan itu, Anggota DPD RI asal Banten Abdi Sumaithi melihat bahwa pelanggaran-pelangaran yang terjadi terkait PPDB zonasi ini tidak mendapat hukuman padahal melanggar undang-undang.

“Pemerintah juga melakukan pelanggaran dengan tidak melakukan pemenuhan hak pendidikan dasar secara merata,” tuturnya.

Baca Juga:  Aplikasi Hijau, Kekerasan Hingga Penipuan Rp 61 Juta

Pada kesempatan yang sama, Anggota DPD asal Gorontalo Rahmijati Jahja melihat masalah dari sektor guru atau pendidik, menurutnya para pengajar saat ini harus punya kemampuan dan keahlian dalam mengajar.

“Guru harus mampu mengajar punya kemampuan ilmu dalam mengajar dengan menyenangkan,” sebut Rahmijati.

Lain halnya, Anggota DPD RI Bangkulu Eni Khaerani melihat pemerintah punya pekerjaan rumah besar mewujudkan cita-cita pendidikan yang ideal. Upaya negara seharusnya tidak hanya membangun sekolah tapi juga menyediakan guru-guru agar dapat menciptakan sekolah-sekolah yang bermutu tidak hanya sekolah negeri tapi juga swasta.

“Masyarakat butuh tranparansi dalam proses PPDB zonasi, karena banyak keluhan,” imbuhnya.

Pada forum ini, Head of legal Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, Mandira Bienna Elmir memaparkan terkait akses pendidikan di Indonesia. Terkait pendidikan dasar terjadi penurunan signifikan terhadap jumlah satuan pendidikan pada setiap kenaikan jenjang menyebabkan kekurangan daya tampung pada setiap kenaikan jenjang pendidikan saat PPDB setiap tahunnya.

“Miris karena menurut data Bappenas Tahun 2001 ditemukan 302 Kecamatan tidak tersedia SMP/MTs 727 Kecamatan tidak tersedia SMA/SMK/MA,” ungkap Mandira.

Baca Juga:  Kualifikasi Piala Dunia 2026 Round 2, Ada Wajah Baru

Elmir mengatakan bahwa konsistensi makna wajib belajar seharusnya diakui negara secara gentle dengan tidak hanya diatur dalam regulasi, tetapi juga mampu dilaksanakan melalui implementasi dalam pemenuhan daya tampung dan pembiayaan pendidikan.

“Saat ini wajib belajar 12 tahun belum bisa dilaksanakan merata disemua daerah karena alasan kemampuan anggaran,” tuturnya.

Sementara itu, Pakar pendidikan Arief Rachman menyoroti pada prinsipnya dalam penyelenggaraan pendidikan di dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif.

“Konsep PPDB ini sudah cukup baik, namun diperlukan penyempurnaan dan proses kontrol pengawasan yang kuat dari para pihak terkait,” tukas Arief.

Senada dengan itu, Wakil Ketua Komite III Muslim M Yatim menyatakan masalah zonasi sudah ada perbaikan tapi masih jauh dari harapan masyarakat. Yang menjadi sorotan adalah bagaimana pemenuhan kuota sesuai dengan daya tampung dan jumlah anak didik di semua daerah.

“Harus disiapkan roadmap yang jelas oleh pemerintah secara berjenjang sesuai agar setiap tahap terpenuhi,” pungkasnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan