Keberadaan kelelawar raksasa yang mengelilingi langit mungkin memberikan kesan menakutkan. Namun, spesies megabat ini tidaklah seperti vampir yang menghisap darah, melainkan hidup dengan pola makan vegan yang terdiri dari buah-buahan.
Ukuran kelelawar yang dikenal sebagai Golden-Crowned Flying Fox ini selalu menjadi sorotan dan membuat orang terkagum-kagum. Beberapa penampakannya yang viral di media sosial sering kali menimbulkan komentar netizen yang sulit percaya bahwa kelelawar ini hampir sebesar manusia.
Golden-Crowned Flying Fox, yang hanya ditemukan di hutan Filipina, adalah spesies kelelawar terbesar di dunia dengan rentang sayap mencapai 1,5 meter ketika mereka direntangkan. Kelelawar ini memiliki bobot sekitar 1,2 kg dan koloninya dapat mencapai jumlah hingga 10 ribu ekor.
Sumber dari All Thats Interesting menyebutkan bahwa kelelawar ini sebenarnya tidak membahayakan manusia. Ancaman terbesar terhadap eksistensi spesies ini adalah perburuan manusia dan deforestasi yang mengancam habitatnya.
Meskipun memiliki rentang sayap yang lebar, tubuh kelelawar ini sebenarnya kecil dengan ukuran bervariasi antara 10 hingga 27 cm. Mereka adalah makhluk herbivora dengan nama ilmiah Acerodon jubatus dan bergantung pada buah-buahan sebagai makanan utama. Mereka mencari makan pada saat senja, mulai dari buah ara hingga daun ficus, dan mengonsumsi makanan sekitar sepertiga dari berat tubuh mereka setiap malam. Pada siang hari, mereka beristirahat dan bertengger di antara rumpun besar bersama kelompoknya di puncak pohon.
Kelelawar ini tergolong sebagai hewan yang cerdas, bahkan setara dengan anjing peliharaan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa Golden-Crowned Flying Fox dapat dilatih untuk menarik tuas guna mendapatkan makanan, dan mereka mampu mengingat cara tersebut hingga kurang lebih tiga setengah tahun.
Berbeda dengan kebanyakan kelelawar lainnya, Golden-Crowned Flying Fox tidak menggunakan ekolokasi untuk bergerak. Mereka mengandalkan penglihatan dan penciuman mereka untuk terbang dengan keahlian di langit. Selain itu, kehadiran mereka memiliki manfaat luas bagi lingkungan.
Polanya dalam memakan buah membantu dalam penyebaran biji tanaman yang mereka konsumsi, terutama biji ara. Setelah makan, kelelawar ini menyebarkan kembali biji-biji tersebut melalui kotorannya, yang pada gilirannya membantu pertumbuhan pohon ara baru di seluruh hutan.
Namun, sayangnya, sementara kelelawar raksasa ini berperan dalam reboisasi, tindakan manusia dalam penggundulan hutan justru mengancam kelangsungan hidup mereka dua kali lipat
Di Filipina, terdapat 79 spesies kelelawar yang terdaftar, dengan 26 di antaranya merupakan megabat. Golden-Crowned Flying Fox, sebagai kelelawar terbesar di dunia, secara alami memiliki ukuran yang mengungguli spesies kelelawar lainnya.
Genus ini mencakup empat spesies megabat lainnya di Asia Tenggara, tetapi hanya Golden-Crowned Flying Fox yang dapat ditemukan di Filipina. Ancaman terbesar yang dihadapi adalah penggundulan hutan dan perburuan yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan.
Kelelawar ini biasanya tidak menghindar dari kehadiran manusia ketika dibiarkan sendiri. Mereka sering terlihat di hutan-hutan dekat desa atau kota yang dihuni manusia, asalkan kegiatan perburuan terlarang dan aktivitas industri minimal.
Namun, dengan adanya gangguan dan tingginya tingkat perburuan, kelelawar ini terpaksa harus mundur ke hutan yang lebat dan mencari tempat bertengger di lereng yang sulit dijangkau. Dampaknya, terjadi terus-menerusnya perambahan habitat mereka, hingga hampir menghilangnya spesies ini.
Lebih dari 90% hutan tua di Filipina telah hancur, memaksa kelelawar ini meninggalkan tempat bertengger alami mereka di beberapa pulau. Selain itu, masyarakat setempat juga sering berburu kelelawar untuk dijual atau sebagai bentuk rekreasi.
Berbagai organisasi nirlaba berusaha untuk mengatasi masalah ini. Salah satunya adalah Bat Conservation International, yang bekerja sama dengan dua LSM Filipina dan memiliki akses ke pemerintah nasional dan lokal untuk membantu mencegah perburuan Golden-Crowned Flying Fox.
Di lapangan, beberapa komunitas lokal secara langsung melindungi lokasi bersarang kelelawar, sementara yang lain berusaha dalam pendidikan kepada masyarakat tentang pentingnya mendukung kelangsungan hidup spesies ini.
Kelelawar besar ini memiliki potensi untuk membawa dan menularkan penyakit kepada manusia. Meskipun demikian, kemungkinan infeksi dari kelelawar ke manusia sangat rendah jika tidak ada interaksi yang berisiko.
Pada tahun 2016, International Union for Conservation of Nature (IUCN) mencatat Golden-Crowned Flying Fox sebagai spesies yang terancam punah setelah populasi mereka mengalami penurunan hingga 50% dari tahun 1986 hingga 2016.
Meskipun spesies ini dilindungi oleh Undang-Undang Konservasi dan Perlindungan Sumber Daya Alam Liar Filipina pada tahun 2001, penerapan undang-undang ini tidak selalu ketat. Oleh karena itu, meskipun sebagian besar sarang kelelawar ini berada di dalam kawasan hutan lindung, perburuan ilegal terhadap Golden-Crowned Flying Fox terus berlanjut.