Sudut Pandang Okta
MALAM itu kami bermalam di Koramil Enggano. Alhamdulillah, para tentara di sana menyambut kami dengan tangan terbuka. Ruang kecil yang kami tempati berubah hangat oleh keramahan mereka. Di tanah yang jauh ini, sikap tulus menjadi tuan rumah yang sesungguhnya.
Keesokan paginya (22/7), perjalanan kami lanjutkan menuju ujung jalan, Desa Banjar Sari, permukiman yang tenang dan rapi di sisi barat laut Enggano. Sebelum tiba di kantor desa, perut kami menuntut sarapan. Kami berhenti di sebuah warung kecil, aroma lotek menguar, menggoda dalam kesederhanaannya.
Di sana kami berjumpa pasangan suami-istri penjual makanan. Sang suami, ternyata berasal dari Sawah Lebar, Kota Bengkulu.
“Kami ke sini cari peruntungan, Bang. Soalnya di sini dikenal sejahtera,” katanya sambil tersenyum.
Ungkapan sederhana itu mengguncang. Jika Enggano benar-benar kelaparan, mengapa justru orang dari kota datang mencari nafkah di sini?
Tak lama kemudian di Kantor Desa, kami disambut oleh Kepala Desa Banjar Sari, Winarto Rudi Setiawan, masyarakat akrab menyapanya Rudi Enggano. Begitu kami menyinggung isu “warga kelaparan”, ia langsung angkat suara.













