Catatan Zacky Antony
KEMENANGAN Prabowo-Gibran pada perhelatan Pilpres 2024 bermakna kemenangan bagi Joko Widodo alias Jokowi. Juga berarti kekalahan bagi Megawati Sukarnoputri. Jokowi dan Megawati sejatinya adalah kawan seperjuangan. Sama-sama Sukarnois. Jokowi lah yang meneken Keppres 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila yang merupakan tanggal pidato Sukarno di sidang BPUPKI 1 Juni 1945.
Megawati bagi Jokowi adalah senior sekaligus pimpinan di lingkungan partai. Usia kedua tokoh ini terpaut 14 tahun. Megawati kelahiran 1947. Jokowi kelahiran 1961. Mega berperan penting dalam perjalanan karir politik Jokowi. Mulai menghantarkan menjadi walikota Solo hingga Gubernur DKI Jakarta 2012. Saat ingin memboyong Jokowi ke Jakarta, Mega sampai cemberutan dengan suaminya sendiri, Taufik Kiemas yang lebih menginginkan Jokowi tetap di Solo.
Berkat andil Megawati jualah, Jokowi bisa menjadi seperti sekarang. Kalau bukan karena tandatangan Megawati, Jokowi tidak akan pernah menjadi calon presiden tahun 2014 dan juga 2019. Dalam dua kali Pilpres, PDIP mengusung nama Jokowi sebagai capres. Di situ jelas tertera tandatangan ketua umum partai pengusung.
Keputusan Megawati mencalonkan Jokowi pada Pilpres 2014 dan Ganjar Pranowo 2024 memperlihatkan sisi kenegarawanan putri proklamator tersebut. Pada 2014 misalnya, Mega masih sangat memungkinkan apabila ingin ngotot maju sebagai capres. Sebagian kader masih menginginkan dia maju capres. Tapi Megawati berpikir rasional. Dia mengalah pada hasil survey yang menunjukkan ada kader PDIP lain yang memiliki tingkat elektabilitas lebih tinggi. Orang itu adalah Jokowi yang baru 2 tahun menjadi gubernur di ibu kota ketika itu.
Begitu pula menghadapi Pilpres 2024. Tidak akan ada yang berani menolak, seandainya Megawati ngotot mencalonkan anaknya Puan Maharani sebagai capres. Apalagi sejak jauh hari Puan memang sudah digadang-gadang sebagai penerus trah Sukarno. Tapi perkiraan orang salah. Megawati tidak mengusung anaknya. Dia lebih memperhatikan hasil survei yang menempatkan kader PDIP lain memiliki tingkat elektabilitas lebih baik ketimbang Puan yaitu Ganjar Pranowo.
Tapi politik adalah politik. Berlaku adagium bahwa there is no permanen friend, but permanen interest Tidak ada teman abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Jokowi yang dulu dipuji, didukung dan dibela habis-habisan. Kini berbalik menjadi lawan.
Megawati terpaksa berhadapan dengan orang yang dia diusung dua kali Pilpres. Menyusul keputusan Jokowi mempersilakan sang anak, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Dan hasilnya Ganjar yang menjadi jago Megawati kalah.
Kemenangan Jokowi dalam Pilres kali ini mematahkan 3 teori sekaligus. Pertama, Jokowi mematahkan anggapan bahwa dia adalah petugas partai seperti berkali-kali ditegaskan oleh Megawati. Buktinya, Jokowi tidak mendukung calon yang diusung PDIP. Kedua, Jokowi menepis anggapan bahwa tanpa PDIP, dia bukanlah siapa-siapa. Ingat perkataan Mega: “tanpa PDIP, pak Jokowi kasihan deh.” Jokowi membuktikan bahwa tanpa PDIP, dia tetap menang. Setidaknya, menghantarkan anaknya menang Pilpres. Ketiga, Jokowi mematahkan anggapan bahwa menjelang berakhir masa jabatan, pamor seseorang biasanya cenderung redup. Justru di penghujung masa jabatannya, Jokowi mampu bermanuver dan “menundukkan” setidaknya tujuh ketua parpol.
Tapi apakah Megawati benar-benar kalah? Tidak juga. Capres PDIP memang kalah. Tapi PDIP tetap menjadi pemenang Pemilu Legislatif 2024. Meskipun ada penurunan suara dibanding Pemilu 2019, tapi hattrick menang Pemilu adalah catatan prestasi tersendiri bagi seorang ketua umum partai. Pada Pemilu 2019, PDIP meraup suara 27 juta (19,33 persen). Sedangkan Pemilu 2024, suara PDIP menyusut menjadi 25 juta (16,7 persen).
Pemilu 2024 adalah anomali. PDIP menang, tapi Ganjar Pranowo yang jadi capres PDIP justru kalah. Ironisnya, kekalahan Ganjar terjadi di kantong-kantong suara PDIP seperti Jawa Tengah dan Bali. Di sisi lain, Prabowo Subianto menang Pilpres, tapi peringkat Gerindra turun ke posisi ke-3, meskipun perolehan suara naik. Kontras dengan Pemilu 2009. Saat itu, SBY menang Pilpres, sekaligus Partai Demokrat juga menang Pemilu Legislatif.
Pada Pemilu 2019, Gerindra berada di peringkat kedua di bawah PDIP dengan meraup 17,5 juta suara (12,5 persen). Pada Pemilu 2024, Gerindra disalip Golkar yang melejit ke peringkat kedua dengan tambahan 6 juta suara. Di Pemilu 2019, Golkar meraup 17,2 juta (12 persen). Pada Pemilu 2024, Golkar meraup 23 juta (15 persen). Perolehan suara Gerindra juga bertambah, tapi tidak setinggi Golkar. Pada Pemilu 2019, Gerindra meraup 17 juta, menjadi 20 juta pada Pemilu 2024.
Jadi, kesimpulannya baik Megawati maupun Jokowi sama-sama menang. Megawati menang Pemilu Legislatif. Jokowi menang Pilpres.
*_Penulis adalah wartawan senior yang juga Ketua Komisi Hukum PWI Pusat_*