Dalam konteks politik ekologi, nilai-nilai Qur’ani dapat diterapkan melalui kebijakan publik yang mendorong pembangunan berkelanjutan. Hal ini mencakup inisiatif untuk mengurangi aktivitas yang merusak lingkungan, seperti deforestasi, pencemaran, dan konsumsi energi fosil yang tidak terkendali. Pemerintah dapat memperkenalkan insentif untuk praktik ramah lingkungan, seperti pajak karbon atau subsidi untuk teknologi hijau, yang sejalan dengan ajaran Islam tentang keseimbangan dan keadilan. Pelibatan komunitas dalam upaya pelestarian lingkungan juga menjadi kunci keberhasilan. Misalnya, kampanye bersama antara ulama, pemerintah, dan masyarakat untuk mendorong gaya hidup hijau dapat memperkuat keterlibatan publik. Selain itu, forum musyawarah atau konsultasi publik yang mengakomodasi masukan dari berbagai pihak dapat menjadi sarana untuk memastikan kebijakan lingkungan yang inklusif dan berkelanjutan, sesuai dengan prinsip syura (musyawarah) yang diajarkan Al-Qur’an.
Paradigma Qur’ani dalam politik ekologi menegaskan pentingnya peran manusia sebagai khalifah di bumi untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Al-Qur’an memberikan perhatian serius terhadap ekologi, baik melalui gambaran penciptaan alam semesta yang penuh keseimbangan maupun tanggung jawab manusia dalam mengelolanya. Ayat-ayat Al-Qur’an menekankan bahwa kerusakan lingkungan adalah akibat dari ulah manusia, dan oleh karena itu, manusia memiliki kewajiban moral dan spiritual untuk memperbaiki dan melestarikan lingkungan Dalam konteks politik ekologi, nilai-nilai Qur’ani dapat diterapkan melalui kebijakan publik yang berlandaskan prinsip keadilan, keseimbangan, dan keberlanjutan. Pengelolaan sumber daya alam secara bijak, konservasi, dan pelibatan komunitas menjadi langkah strategis untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan ajaran Islam. Pendekatan ini tidak hanya mencerminkan ketaatan kepada Allah, tetapi juga menjadi solusi praktis dalam menghadapi tantangan kerusakan lingkungan di era modern.