Jakarta – Sejarah perkembangan pers di Indonesia mencerminkan perjalanan panjang dalam menghadapi berbagai bentuk kekuasaan dan pengaruh politik, mulai dari era penjajahan hingga era reformasi. Pers sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa berperan penting dalam menyampaikan informasi melalui berbagai media, seperti tulisan, suara, gambar, dan grafik.
Perkembangan Pers pada Masa Kolonial
Dikutip dari kompas.com, awal mula pers di Indonesia terjadi saat masa penjajahan Belanda pada abad ke-17. Pada masa itu, seluruh kegiatan penerbitan berada di bawah kontrol pemerintah kolonial. Surat kabar pertama yang beredar adalah Batavia Nouvelles (1744–1746), disusul Bataviasche Courant (1817), dan Bataviasche Advertentieblad (1827), yang semuanya berbahasa Belanda. Memasuki abad ke-19, pers berbahasa Melayu mulai muncul, termasuk Bromartani, surat kabar berbahasa Jawa pertama yang terbit di Surakarta pada 29 Maret 1855.
Pers Sebagai Alat Perjuangan Nasional
Abad ke-20 menjadi momentum penting dengan munculnya semangat nasionalisme yang mendorong berkembangnya pers sebagai alat perjuangan. RM Tirto Adhi Soerjo mendirikan Medan Prijaji pada 1907, surat kabar berbahasa Melayu yang dimiliki rakyat pribumi. Meski menghadapi tekanan dari Belanda, pers semakin kuat sebagai sarana penyebaran ide kemerdekaan.
Pers di Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang (1942), pers difungsikan sebagai alat propaganda oleh pemerintah Jepang. Undang-undang Media Jepang diterapkan untuk mengontrol materi publikasi. Meski demikian, beberapa media seperti Asia Raya, Sinar Baru, dan Suara Asia tetap terbit.
Dinamika Pers di Masa Orde Lama
Periode Orde Lama dibagi menjadi tiga fase, yaitu era revolusi fisik (1945–1949), demokrasi liberal (1950–1959), dan demokrasi terpimpin (1959–1966). Selama revolusi fisik, pers Republik menjadi alat perjuangan, sementara Pers NICA digunakan Belanda untuk propaganda. Di masa demokrasi liberal, media digunakan partai politik secara partisan. Saat demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno mengontrol ketat pers untuk mendukung kebijakan revolusi.
Pembatasan Pers di Era Orde Baru
Awal pemerintahan Orde Baru mendukung kebebasan pers melalui UU RI No. 11 Tahun 1966. Namun, pelaksanaannya menyimpang karena Presiden Soeharto mengendalikan pemberitaan yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Sekitar 70 surat kabar dibredel, dan banyak jurnalis mengalami penangkapan serta pengasingan.
Kebebasan Pers di Era Reformasi
Reformasi tahun 1998 membawa perubahan besar bagi kebebasan pers. Di bawah Presiden BJ Habibie, Departemen Penerangan dibubarkan dan sensor terhadap media dihapus. TAP MPR RI No. XXVII Tahun 1998 menjamin hak masyarakat untuk memperoleh dan menyampaikan informasi secara bebas, menjadikan era ini tonggak kebebasan pers di Indonesia hingga saat ini.