Menko Polhukam Mahfud Md, dalam sebuah forum diskusi yang diselenggarakan pada Rabu (13/9/2023), mengajak masyarakat untuk mewaspadai potensi eksploitasi polarisasi dan politik identitas dalam upaya mencapai kekuasaan. Dalam pembahasannya, Mahfud Md memberikan klarifikasi penting mengenai perbedaan antara ‘politik identitas’ dan ‘identitas politik.’
Mahfud Md awalnya menekankan peran yang dimainkan oleh partai politik dalam memberikan contoh yang baik dan dalam membangun pemilu yang damai. Namun, Menko Polhukam juga memperingatkan masyarakat agar waspada jika ada kelompok tertentu yang mencoba memanfaatkan isu-isu identitas dalam politik.
“Publik pun harus menyadari ketika ada elite politik yang memanfaatkan terjadinya polarisasi dengan politik identitas untuk mencapai kekuasaan, maka mereka cenderung hanya akan memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya,” ungkap Mahfud Md dalam forum tersebut. Dilangsir detiknews.
Menko Polhukam pun membedakan antara konsep ‘politik identitas’ dan ‘identitas politik.’ Sebagai contoh, identitas politik seseorang mungkin terkait dengan afiliasi partai politik tertentu, seperti PDIP untuk Hasto Kristiyanto atau Gerindra untuk Muzani. Forum tersebut juga dihadiri oleh sekretaris jenderal partai politik.
“Kalau identitas politik masing kita punya, jadi Pak Hasto PDIP, Habib Aboe Bakar PKS, Muzani Gerindra, yang lain-lain Pak Eddy Soeparno PAN, itu identitas politik,” jelasnya.
Namun, Mahfud Md menjelaskan bahwa ‘politik identitas’ adalah ketika identitas digunakan untuk memisahkan dan mendiskriminasi orang lain berdasarkan atribut-atribut primordial, seperti etnis, agama, atau regional. Hal ini berpotensi untuk menciptakan konflik dan ketegangan dalam masyarakat.
Perbedaan lainnya adalah bahwa ‘identitas politik’ dapat digunakan untuk bersaing dalam konteks pemilihan umum dan membangun kembali persatuan setelah pemilu berakhir. Oleh karena itu, Mahfud Md dengan tegas mengingatkan agar tidak ada pihak yang memanfaatkan ‘politik identitas’ dalam upaya memecah belah masyarakat.
“Politik identitas itu yang tidak boleh kalau sebuah identitas politik, digunakan untuk memecah belah, tapi kalau untuk kontestasi, maju bersama, memang itu lah identitas politik. ‘Saya ingin maju bersama, ayo bersama’, tapi tidak pakai politik identitas. Itu di beda aja, dibalik aja pengertiannya,” tambahnya.
Dengan klarifikasi ini, Mahfud Md berupaya untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas kepada masyarakat tentang bahaya polarisasi dan politik identitas yang dapat merusak kesatuan dan persatuan dalam negara demokratis.
Polarisasi dan politik identitas adalah dua fenomena yang, jika tidak dihadapi dengan bijak, dapat menjadi ancaman serius bagi kesatuan dan persatuan dalam negara demokratis. Fenomena ini memiliki potensi untuk memecah belah masyarakat, merusak dialog yang sehat, dan mengganggu stabilitas politik. Dalam sebuah era yang semakin terhubung secara global, pemahaman tentang bahaya polarisasi dan politik identitas sangat penting.
Polarisasi adalah proses pembelahan masyarakat menjadi dua kelompok atau lebih yang memiliki pandangan dan nilai-nilai yang sangat berbeda. Ini dapat terjadi dalam berbagai aspek, seperti politik, sosial, dan ekonomi. Ketika polarisasi mencapai tingkat yang ekstrem, dapat menghasilkan konflik, ketidaksetujuan yang dalam, dan ketegangan dalam masyarakat. Pemilihan umum seringkali menjadi medan utama di mana polarisasi politik muncul, dengan kelompok yang berlawanan mengadopsi sikap yang semakin ekstrem.
Politik identitas, di sisi lain, berkaitan dengan bagaimana individu mengidentifikasi diri mereka sendiri dalam konteks politik. Ini bisa berdasarkan faktor-faktor seperti etnis, agama, gender, atau bahkan pandangan sosial tertentu. Ketika politik identitas digunakan sebagai alat untuk memisahkan dan memojokkan kelompok lain, ini menjadi bahaya nyata bagi negara demokratis. Ini dapat menyebabkan diskriminasi, segregasi sosial, dan ketegangan antar-kelompok.
Polarisisasi yang ekstrem dan politik identitas yang memicu konflik dapat merongrong kesatuan nasional, mengancam integritas negara.
Masyarakat yang sangat terpecah belah lebih rentan terhadap konflik politik yang mengganggu stabilitas pemerintahan dan kemampuan untuk membuat keputusan yang efektif.
Ketika polarisasi mencapai titik ekstrem, kemungkinan untuk berdialog dan mencapai kompromi dengan lawan politik menjadi semakin kecil. Hal ini dapat menghambat kemampuan pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang efektif.
Dalam lingkungan yang sangat terpolitisasi, fakta dan informasi seringkali terdistorsi atau diabaikan demi mendukung narasi politik. Ini dapat merusak debat yang sehat dan menyulitkan warga untuk membuat keputusan yang informatif.
Polarisisasi yang ekstrem dan politik identitas yang dibawa ke tingkat yang ekstrem dapat memicu konflik sosial dan bahkan kekerasan antar-kelompok.
Untuk menghadapi bahaya ini, penting bagi negara demokratis untuk mempromosikan pendidikan politik yang inklusif, mendorong dialog antar-kelompok, dan memastikan perlindungan hukum yang kuat untuk semua warganya. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya persatuan dan nilai-nilai demokrasi juga perlu ditingkatkan. Dengan demikian, negara dapat menghadapi polarisasi dan politik identitas dengan cara yang memperkuat, bukan melemahkan, kesatuan dan stabilitasnya.