Dalam Kisah Sahabat Nabi, kita sering mendengar tentang sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang setia dan berbakti kepada Rasulullah. Namun, ada satu sahabat yang diperkirakan masih hidup sampai sekarang ini, bukan dalam bentuk manusia, melainkan dalam wujud sebatang pohon yang berada di kawasan Buqa’awiyya, yang dikenal sebagai ‘Pohon Sahabi’ atau ‘The Only Living Sahabi’.
Kisah Sahabat Nabi tentang Pohon Sahabi menjadi sebuah misteri menarik yang terus menarik perhatian para peneliti dan pecinta sejarah Islam.
Kisah Pendeta Bahira: Jejak Kenabian Muhammad SAW dalam Sirah Nabawiyah
Dalam sejarah Islam, terdapat berbagai kisah menarik yang menjadi bagian penting dari kehidupan Nabi Muhammad SAW. Salah satu kisah yang menakjubkan adalah kisah Pendeta Bahira, yang mengungkapkan tanda-tanda kenabian pada diri Rasulullah saat ia masih seorang anak.
Kisah ini terdokumentasikan dalam Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, salah satu sumber utama tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW. Kisah ini dimulai ketika Abu Thalib, pamannya Nabi Muhammad, bersiap-siap untuk melakukan perjalanan dagang ke Syam. Saat itu, Muhammad masih berusia muda dan ingin ikut dalam perjalanan tersebut.
Abu Thalib, yang merasa kekhawatiran dan kasih sayang terhadap keponakannya, mengizinkan Muhammad untuk bergabung dalam rombongan dagang tersebut. Bersama dengan rombongan yang terdiri dari beberapa anggota keluarga dan pedagang lainnya, mereka berangkat menuju Syam.
Setelah beberapa perjalanan, mereka tiba di Bushra, sebuah daerah di Syam. Di sana, hidup seorang pendeta yang bijaksana dan dihormati oleh masyarakat setempat. Pendeta tersebut dikenal sebagai Bahira, dan ia telah menjalani hidup yang sangat asketis di biara selama beberapa dekade. Bahira tidak pernah meninggalkan tempat itu dan hidup dalam keheningan dan pelayanan spiritual.
Pertemuan antara Muhammad dan Pendeta Bahira terbukti menjadi momen yang sangat penting dalam sejarah Islam. Saat pertama kali melihat Muhammad, Pendeta Bahira melihat tanda-tanda kenabian yang luar biasa pada dirinya. Dia melihat ciri-ciri khusus, seperti awan yang selalu mengikuti dan memberikan naungan kepada Muhammad di tengah cuaca yang panas.
Pendeta Bahira juga memperhatikan bahwa pohon-pohon di sekitar Muhammad bersujud ketika Nabi Muhammad duduk di bawahnya, tanda lain dari keutamaan yang langka. Bahira kemudian mengamati tanda-tanda lainnya, termasuk segel kenabian yang ditemukan di punggung Muhammad.
Terkesan oleh tanda-tanda yang luar biasa ini, Pendeta Bahira memutuskan untuk berbicara secara pribadi dengan Muhammad dan keluarganya. Dia memahami bahwa pemuda ini adalah seseorang yang akan memiliki peran besar dalam agama dan masyarakat di masa depan. Pendeta Bahira berbicara dengan Abu Thalib, dan dengan penuh hormat, dia menasihati untuk menjaga dan melindungi Muhammad dari bahaya.
Saat kelompok dagang Quraisy tiba di dekat biara Bahira, pendeta tersebut dengan luar biasa mengutus seseorang untuk mengundang seluruh anggota kafilah untuk menyantap hidangan yang telah disiapkan. Ia memberi pesan agar semua orang, tanpa terkecuali, termasuk anak-anak kecil, orang dewasa, hamba sahaya, dan orang merdeka, untuk datang bersama-sama.
Inilah saat penting ketika Bahira turun dari biaranya dan mulai berinteraksi dengan kelompok Quraisy. Pendeta Bahira secara diam-diam memperhatikan Nabi Muhammad, yang saat itu masih seorang pemuda yang ikut dalam rombongan dagang. Bahira tidak hanya melihat secara fisik, tetapi juga dengan mata batinnya.
Saat makanan selesai disantap dan orang-orang Quraisy berpencar, Bahira melihat tanda-tanda yang luar biasa pada Muhammad. Ia melihat sifat-sifat kenabian yang tak bisa diabaikan. Ini adalah momen ketika Bahira menyadari bahwa pemuda tersebut adalah seseorang yang akan memiliki peran besar dalam agama dan sejarah.
Dengan penuh rasa ingin tahu, Pendeta Bahira mendekati Muhammad dan dengan hati-hati bertanya, “Nak, demi Lata dan Uzza, aku akan bertanya kepadamu, dan engkau harus menjawab pertanyaanku.” Bahira, seorang Nasrani yang mengutip nama-nama dewa Arab, ingin mengetahui lebih lanjut tentang pemuda yang duduk di hadapannya.
Pertanyaan-pertanyaan Bahira dan jawaban Nabi Muhammad pada saat itu adalah permulaan dari sebuah kisah yang akan mengubah sejarah dunia. Ini adalah saat di mana tanda-tanda kenabian pertama kali terungkap dan ketika pendeta Nasrani dan pemuda Muhammad berbagi pemahaman tentang potensi besar yang dimiliki oleh pemuda itu.
Pertemuan ini mencapai puncaknya saat Pendeta Bahira memutuskan untuk mengajukan pertanyaan penting kepada pemuda tersebut. Dengan nama-nama dewa Arab, Lata dan Uzza, ia bertanya kepada Muhammad. Namun, dalam jawabannya, Muhammad dengan tegas menegaskan, “Janganlah engkau bertanya kepadaku atas nama Lata dan Uzza. Demi Allah, tidak ada yang paling kubenci selain keduanya.”
Pendeta Bahira, yang merasa terdorong oleh rasa ingin tahu dan mungkin juga ketakutan, memintanya untuk menjawab pertanyaannya. Muhammad, yang penuh kearifan dan ketenangan, setuju untuk menjawab.
Dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Pendeta Bahira, Muhammad memberikan jawaban yang menakjubkan. Jawaban-jawaban tersebut tidak hanya mencerminkan kebijaksanaan dan pengetahuan yang luar biasa, tetapi juga selaras dengan sifat-sifat kenabian yang akan datang.
Namun, momen yang paling memukau adalah ketika Pendeta Bahira memeriksa punggung Muhammad. Di antara kedua bahunya, ia menemukan stempel kenabian yang dijelaskan sebagai “bekas bekam.” Ini adalah tanda kenabian yang khas yang ditemukan oleh Pendeta Bahira, menguatkan keyakinannya bahwa pemuda tersebut adalah sesuatu yang luar biasa.
Setelah urusan dengan Muhammad selesai, Pendeta Bahira beralih kepada pamannya, Abu Thalib, dan mengajukan pertanyaan penting, “Anak siapa ini?” Abu Thalib dengan tulus menjawab, “Dia anakku.” Namun, Bahira merasa ada yang lebih dalam dalam cerita ini. Ia berkata, “Ia bukan anakmu. Tidak mungkin anak ini punya seorang ayah yang masih hidup.”
Abu Thalib akhirnya mengungkapkan kebenarannya, “Memang, ia anak saudaraku.” Bahira yang bijaksana tak berhenti di situ, ia terus bertanya, “Apa yang dilakukan ayahnya?” Abu Thalib menjawab, “Ia sudah meninggal saat ibunya mengandung anak ini.”
Bahira, dengan pengetahuannya yang mendalam, merespons, “Engkau benar. Sebaiknya engkau segera membawa keponakanmu ini kembali ke negerimu. Dan berhati-hatilah terhadap orang-orang Yahudi. Demi Allah, kalau sampai mereka melihat anak ini dan mengetahui apa yang kuketahui, mereka akan melakukan sesuatu yang buruk terhadapnya. Sungguh, keponakanmu ini akan memiliki kedudukan yang agung. Sekarang, pulanglah cepat-cepat ke negerimu.”
Nasihat yang diberikan oleh Pendeta Bahira pada saat itu membawa dampak besar dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad. Bahira mengetahui bahwa pemuda ini adalah seseorang yang istimewa dan akan memiliki peran besar dalam agama dan sejarah. Ia juga menyadari bahwa ada bahaya yang mengintai, terutama dari pihak-pihak yang mungkin iri dan ingin menghalangi kenabian Muhammad.
Abu Thalib, setelah menerima nasihat tersebut, segera membawa Muhammad pulang ke Makkah. Inilah awal dari perjalanan kenabian yang mengubah dunia, sebuah perjalanan yang dimulai dengan pertemuan dan nasihat seorang pendeta bijaksana di sebuah biara di Syam.
Penemuan Pohon Sahabi: Jejak Sejarah Bersejarah di Gurun Yordania
Dalam sejarah Islam, Kisah Sahabat Nabi Muhammad SAW selalu menjadi bagian penting dalam warisan agama ini. Salah satu temuan baru yang mengesankan adalah Penemuan Pohon Sahabi, yang membawa kita lebih dekat kepada sejarah dan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan Nabi Muhammad.
Pangeran Ghazi bin Muhammad bersama otoritas pemerintah Yordania terlibat dalam pencarian yang menarik ini. Penemuan ini dimulai ketika Pangeran Ghazi meneliti arsip negara di Perpustakaan Royal Archives. Dalam naskah kuno, ia menemukan referensi yang menarik: lokasi Pohon Sahabi, yang konon berada di gurun sebelah utara Yordania.
Pencarian Pangeran Ghazi tidak berhenti pada temuan referensi tersebut. Bersama sejumlah ulama, termasuk Syekh Ahmad Hassoun, seorang mufti besar Suriah, mereka melakukan perjalanan ke gurun utara Yordania untuk mencari Pohon Sahabi yang legendaris ini.
Hasil pengamatan mereka membenarkan apa yang telah disebutkan dalam referensi naskah kuno. Pohon yang mereka temukan sesuai dengan deskripsi dalam kisah pendeta Bahira (Buhaira), yang merupakan salah satu cerita yang menghubungkan Nabi Muhammad dengan Pohon Sahabi.
Dalam kisah Bahira, diceritakan bahwa Nabi Muhammad, saat masih muda, berteduh di bawah sebuah pohon selama perjalanannya ke Syam. Pendeta Bahira yang bijaksana melihat tanda-tanda kenabian pada pemuda tersebut, yang pada akhirnya memimpin ke peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Islam.
Penemuan Pohon Sahabi menjadi bukti fisik dari kisah ini, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga dan menghormati jejak-jejak sejarah Kisah Sahabat Nabi yang terkait dengan kehidupan Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Itu juga menunjukkan bahwa bahkan setelah berabad-abad, warisan agama Islam terus hidup dan berkembang, menginspirasi generasi-generasi baru dalam pencarian ilmu dan pemahaman tentang agama.
Pandangan Ulama dan Peneliti Sirah: Kontroversi seputar Pohon Sahabi
Dalam dunia penelitian dan pemahaman terhadap sejarah Islam, kontroversi bisa muncul, terutama ketika berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi ribuan tahun yang lalu. Salah satu perdebatan yang menarik adalah seputar status Pohon Sahabi yang diyakini menjadi tempat berteduh Nabi Muhammad SAW selama perjalanannya ke Syam. Pandangan ulama dan peneliti Sirah berkisar pada apakah Pohon Sahabi seharusnya dianggap sebagai sahabat Nabi atau tidak.
Buku “40 Sirah Popular Yang Diragui Berkenaan Nabi & Sahabat” oleh Mustafar Mohd Suki menyajikan argumen yang berbeda dalam diskusi ini. Professor Ibrahim Musa al-Zaqarthi, Ketua Pengkaji Geografi Yordania, menyatakan bahwa tidak tepat menyandingkan Pohon Sahabi sebagai sahabat Nabi karena beberapa alasan yang ia kemukakan.
Pertama, ia berpendapat bahwa tidak ada catatan yang memastikan bahwa Ibnu Hisyam atau al-Tabari, dua sejarawan terkenal yang mengabdikan diri pada penulisan Sirah (biografi Nabi), sebenarnya menyebutkan kawasan Buqa’awiyya seperti yang sering diakui oleh masyarakat.
Kedua, menurut Professor Ibrahim Musa al-Zaqarthi, tidak ada bukti historis yang menunjukkan adanya jalur perdagangan atau jalur ziarah yang melintasi kawasan Buqa’awiyya. Hal ini menjadi perdebatan yang penting karena kawasan tersebut diyakini menjadi lokasi Pohon Sahabi.
Terakhir, penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian Yordania menyatakan bahwa umur Pohon Sahabi tersebut berusia 520 tahun. Ini menjadi pertanyaan apakah pohon yang hidup selama beberapa abad ini dapat dianggap sebagai Kisah Sahabat Nabi Muhammad.
Pandangan Professor Ibrahim Musa al-Zaqarthi dan peneliti lainnya menyoroti pentingnya pendekatan kritis dalam memahami sejarah dan sirah. Mereka menekankan pentingnya berdasarkan bukti-bukti historis yang kuat dalam menentukan kebenaran suatu peristiwa atau keyakinan. Perdebatan seputar Pohon Sahabi adalah contoh bagaimana pemahaman tentang sejarah terus berkembang seiring dengan penelitian dan analisis yang lebih mendalam.
Kontroversi Pohon Sahabi dalam Sirah: Perspektif Ulama Hadis
Pohon Sahabi, yang diyakini menjadi tempat berteduh Nabi Muhammad SAW selama perjalanan ke Syam untuk berniaga, telah menjadi subjek perdebatan dan kontroversi dalam dunia ilmu hadis dan sirah. Ulama hadis, yang memegang peran penting dalam mengidentifikasi keabsahan riwayat-riwayat sejarah Islam, memiliki beragam pandangan tentang kisah ini, terutama karena kurangnya bukti yang kuat dalam hadis yang menyokongnya.
Sebagian ulama hadis menolak kesahihan kisah Pohon Sahabi sebagai Kisah Sahabat Nabi. Mereka mengklaim bahwa tidak ada riwayat shahih (terpercaya) yang secara jelas dan kuat mencatat bahwa Nabi Muhammad berteduh di bawah Pohon Sahabi selama perjalanan ke Syam. Dalam pandangan mereka, keberadaan riwayat yang tidak memiliki sanad (rantai perawi yang bisa ditelusuri ke Nabi) yang kuat dan konsisten membuat cerita ini kurang dapat diandalkan dari sudut pandang ilmu hadis.
Di sisi lain, sebagian ulama hadis dan peneliti sirah menerima kisah ini. Mereka menunjukkan bahwa ada riwayat-riwayat yang merujuk kepada peristiwa ini, meskipun mungkin memiliki kelemahan dalam sanad atau penilaian para perawi. Bagi mereka, penting untuk mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk latar belakang sosial dan budaya pada masa itu, dalam mengevaluasi kebenaran kisah ini.
Namun, perdebatan ini mencerminkan kerumitan dalam menentukan keabsahan sejarah Islam, terutama ketika bukti-bukti tertulis dalam bentuk hadis memiliki ketidakpastian. Para ulama hadis selalu menekankan pentingnya menjaga standar keabsahan dalam menilai hadis dan riwayat-riwayat sejarah.
Akhirnya, masalah ini mungkin tidak akan pernah memiliki jawaban yang memuaskan bagi semua pihak. Perspektif dan pendekatan yang berbeda dalam menilai riwayat-riwayat sejarah adalah bagian dari keberagaman dalam tradisi ilmu hadis dan sirah Islam. Kedalamannya mencerminkan upaya yang dilakukan oleh para cendekiawan untuk memahami sejarah Islam dengan cermat dan kritis, sambil tetap menghormati keragaman pandangan dalam komunitas Muslim. Wallahu a’lam (Allah-lah yang lebih mengetahui).