Oleh : Mahatma Muhammad
KAWAN-KAWAN, Benteng Marlborough berdiri di tepi Samudra Hindia, memunggungi dan sesekali mengintip gelombang yang menerus datang tanpa henti. Kita tahu, dimanapun ombakmu dan ombakku tidak pernah berhenti. Ombak di halaman rumah kita hanya berganti bentuk: ada riaknya, ada pasang, badai, lalu kembali tenang.
Kawan-kawan di Bengkulu lebih tahu, bahwa dari laut itulah dulu kapal-kapal Inggris datang membawa meriam, bendera, dan peta dagang. Batu-batu benteng kemudian disusun dengan tangan orang kita, tapi nama bentengnya justru diambil dari seorang jenderal asing yang tidak pernah tahu panas berdengkangnya matahari di Tapak Padri ini.
Maka jelas sejak awal, benteng ini bukan tentang kita. Benteng ini cuma tanda seru dari sejarah orang lain yang dicucukkan ke tubuh Bengkulu. Kini, setelah kemerdekaan, setelah sekian kali renovasi dan revitalisasi, ia kembali diserahkan pada kita, khususnya kawan-kawan di Bengkulu sekalian.
Kawan-kawan, kita diwarisi tubuh yang bukan kita, lalu diminta menghidupkannya. Batu-batu, pagar, dan sebuah tubuh asing yang telah dipugar dan dipoles cat baru, diberi papan informasi. Sekarang sedang dijadikan panggung festival.













