Alaku
Alaku
Alaku
Berita Terkini

Ade Irma Suryani Nasution, Korban Ketidakwarasan PKI

×

Ade Irma Suryani Nasution, Korban Ketidakwarasan PKI

Sebarkan artikel ini
Ade Irma Suryani Nasution, Korban Ketidakwarasan PKI
Ade Irma Suryani Nasution, Korban Ketidakwarasan PKI

Pada tahun 1965, Indonesia mengalami salah satu peristiwa paling gelap dan tragis dalam sejarahnya, yang dikenal sebagai Peristiwa G30S PKI (Partai Komunis Indonesia). Peristiwa ini telah menjadi kenangan yang tidak akan pernah lekang dari ingatan masyarakat Indonesia salah satunya kematian Putri Jenderal, Ade Irma Suryani Nasution. Bagaimana tidak, pengkhianatan yang dilakukan oleh PKI pada saat itu terbilang sangat keji dan tidak manusiawi.

Pada tanggal 30 September 1965, sekelompok anggota PKI yang fanatik melakukan serangan brutal terhadap enam orang jenderal dan seorang perwira Angkatan Darat Indonesia. Mereka dengan tega menyiksa para jenderal ini hingga akhirnya membunuh mereka dengan cara yang sangat kejam. Tubuh-tubuh mereka kemudian dimasukkan ke dalam Lubang Buaya, sebuah tempat yang sekarang menjadi Museum Lubang Buaya di Jakarta.

Selain ketujuh korban tersebut, ada satu korban lain yang harus menanggung nasib tragis karena kekejaman gerakan ini. Seorang anak kecil bernama Ade Irma Suryani Nasution harus kehilangan nyawanya dalam peristiwa ini. Ade Irma Suryani Nasution adalah anak dari Jenderal Ahmad Yani, salah satu jenderal yang menjadi korban dalam peristiwa ini. Dia meninggal dalam usia yang masih sangat muda, menjadi salah satu korban tidak berdosa dari tindakan kejam PKI.

Peristiwa G30S PKI mengguncang Indonesia hingga ke dasar-dasar masyarakatnya. Masyarakat Indonesia yang damai dan pluralistik tiba-tiba terjerembab dalam ketakutan dan kecurigaan. Peristiwa ini memicu gelombang anti-PKI yang meluas di seluruh negeri. Banyak orang yang dianggap terkait dengan PKI menjadi sasaran amukan dan pembunuhan massal. Selama beberapa tahun berikutnya, terjadi pembunuhan massal yang melibatkan ribuan orang yang dituduh sebagai simpatisan atau anggota PKI.

Dilansir dari “Buku Dendam & Cinta Keluarga Marxis” karya Edy van Kelingyang, peristiwa G30S PKI menggambarkan kekejaman yang tak terbayangkan dan penderitaan yang dialami oleh banyak keluarga yang kehilangan orang-orang tercinta mereka. Trauma ini masih dirasakan oleh generasi Indonesia yang hidup pada masa itu dan berdampak pada sejarah politik dan sosial Indonesia.

Baca Juga:  Warga Kecamatan Selebar Deklarasi Dukung Dedy Agi

Ade Irma Suryani Nasution, Kecil Yang Besar Dalam Tragedi 1965

Ade Irma Suryani Nasution, atau yang akrab dikenal sebagai Ade Irma Suryani, adalah sosok yang tak dapat dipisahkan dari peristiwa tragis Gerakan 30 September 1965 di Indonesia. Lahir pada tanggal 19 Februari 1960, Ade Irma Suryani merupakan anak bungsu dari pasangan Jenderal Besar Abdul Haris Nasution (AH Nasution) dan Johanna Sunarti. Keluarga Nasution adalah salah satu keluarga terkemuka di Indonesia pada masa itu, dan Ade Irma Suryani tumbuh dalam suasana yang penuh dengan pengabdian kepada negara.

Ade Irma Suryani memiliki seorang kakak perempuan bernama Hendrianti Saharah Nasution, yang juga harus menghadapi tragedi yang tak terlupakan dalam sejarah Indonesia. Namun, perhatian kita kali ini tertuju pada Ade Irma Suryani, yang tak berdaya di usia yang sangat muda.

Tragedi yang akan selamanya mengenang Ade Irma Suryani adalah peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang digerakkan oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tanggal 30 September 1965, sekelompok anggota PKI yang fanatik melakukan serangan brutal terhadap enam orang jenderal dan seorang perwira Angkatan Darat Indonesia. Sayangnya, Ade Irma Suryani dan keluarganya menjadi salah satu korban tak berdosa dalam peristiwa ini.

Pada usianya yang baru mencapai lima tahun, Ade Irma Suryani harus berpulang ke Tuhan pada tanggal 6 Oktober 1965 akibat tembakan yang dilepaskan oleh pasukan Cakrabirawa. Tragedi ini merenggut masa depan yang cerah yang seharusnya menanti seorang anak kecil yang penuh potensi.

Ade Irma Suryani Nasution menjadi lambang dari ketidakberdayaan dan ketidakadilan yang terjadi pada saat itu. Kematian tragisnya, bersama dengan kematian jenderal-jenderal yang menjadi korban, menjadi simbol dari kekejaman yang terjadi selama Gerakan 30 September 1965. Keluarga Nasution dan banyak keluarga lainnya harus menanggung penderitaan yang tak terbayangkan, kehilangan orang-orang yang mereka cintai dalam peristiwa ini.

Baca Juga:  Rapat Koordinasi Pertama, Rosjonsyah Pastikan Pemerintahan Tetap Kondusif

Pukul 04.00 WIB dini hari, tanggal 1 Oktober 1965, adalah saat yang tak akan pernah terlupakan dalam sejarah Indonesia. Empat truk dan dua mobil militer menyerbu kediaman resmi Jenderal AH Nasution. Namun, dalam serangan itu, seorang anak kecil bernama Ade Irma Suryani Nasution akan menjadi saksi dari ketahanan dan keberanian yang mengharukan dalam menghadapi ketidakadilan dan kekejaman.

Jenderal AH Nasution, seorang tokoh militer terkemuka pada masa itu, berhasil menyelamatkan diri dari upaya penculikan dan pembunuhan yang direncanakan oleh pasukan musuh. Dia dapat melarikan diri berkat ketegasan dan keberanian istrinya, Johanna Sunarti, yang memaksanya untuk pergi. Pada saat yang sama, mereka tidak dapat menyelamatkan rumah mereka dari serbuan musuh.

Dalam kekacauan dan ketegangan yang melanda, punggung Ade Irma Suryani terkena tembakan tiga peluru dari pasukan Cakrabirawa. Namun, keberanian tidak hanya dimiliki oleh orang dewasa. Ade Irma Suryani, yang saat itu masih seorang anak kecil, menunjukkan keberanian yang luar biasa dalam menghadapi cobaan yang begitu mengerikan.

Setelah terluka parah, Ade Irma Suryani segera dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Ia menjalani perawatan medis selama lima hari yang penuh penderitaan. Meskipun mengalami luka yang serius, Ade Irma Suryani tetap menunjukkan kekuatan dan semangat yang luar biasa. Beberapa kali, dia terbangun dari tidurnya dan dengan lirih menguatkan orang-orang yang mencintainya.

Ade menjalani tiga kali operasi untuk mengangkat dan membersihkan serpihan sisa peluru yang masih tertinggal di tubuhnya. Operasi tersebut dilakukan oleh seorang dokter militer yang bernama Brigjen Dr. Arie Sadhewo. Meskipun mengalami penderitaan yang luar biasa, Ade tetap menunjukkan ketabahan dan semangat yang menginspirasi.

Seperti yang dikutip dari buku “Dendam & Cinta Keluarga Marxis” karya Edy van Keling, Ade Irma Suryani pernah mengatakan sepenggal kalimat kepada sang kakak, Hendrianti Saharah Nasution, dengan penuh kekuatan, “Kakak jangan menangis, Ade sehat.”

Baca Juga:  Inovasi dalam Teknik Passing Bola Voli: Perkembangan Terbaru dalam Permainan

Peristiwa tragis pada tanggal 1 Oktober 1965, yang melibatkan serbuan terhadap kediaman resmi Jenderal AH Nasution, telah meninggalkan luka mendalam bagi banyak keluarga dan individu yang terlibat. Salah satu momen yang penuh emosi dalam cerita ini adalah pertanyaan yang diajukan oleh Ade Irma Suryani kepada ibunya, Johanna Sunarti, yang mencerminkan ketidakpengertian seorang anak kecil terhadap kekejaman yang menimpa ayahnya.

Ade Irma Suryani Nasution, yang masih berusia lima tahun pada saat itu, terkejut oleh peristiwa yang terjadi di rumahnya pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Dia menyaksikan empat truk dan dua mobil militer menyerbu rumah mereka. Bagi seorang anak kecil yang bahkan belum sepenuhnya memahami dunia dewasa, peristiwa ini pasti sangat membingungkan dan menakutkan.

Ketika situasi semakin tegang, Ade Irma Suryani Nasution bertanya kepada ibunya, Johanna Sunarti, dengan polosnya, “Kenapa Papa mau dibunuh, Mama?” Pertanyaan itu mencerminkan ketidakmengertian seorang anak terhadap tindakan brutal yang sedang terjadi di sekelilingnya. Ia tidak bisa memahami mengapa seseorang ingin menyakiti atau bahkan membunuh ayahnya.

Namun, tragisnya, Ade Irma Suryani Nasution tidak hanya menjadi saksi kebingungannya terhadap tindakan kejam tersebut. Pada tanggal 6 Oktober 1965, sekitar pukul 20.00 WIB, Ade Irma Suryani Nasution akhirnya meninggalkan dunia ini di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Usianya yang masih sangat muda tidak memungkinkannya untuk memahami sepenuhnya kekejaman yang terjadi di sekitarnya.

Kematian Ade Irma Suryani Nasution adalah salah satu dari banyak tragedi yang terjadi selama Peristiwa 1965 di Indonesia. Cerita kepolosannya dan pertanyaannya yang penuh kebingungan akan selalu mengingatkan kita tentang dampak tragis yang dapat dirasakan oleh anak-anak dalam situasi konflik dan kekerasan. Semoga tragedi tersebut menginspirasi kita untuk bekerja keras demi perdamaian, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan keadilan, sehingga tak ada lagi anak-anak yang harus bertanya, “Kenapa?” dalam situasi yang penuh ketidakadilan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *