Jakarta, repoeblik.com – Komite I DPD RI melihat penyelenggaraan proses pemasyarakatan dihadapkan pada banyak persoalan yang berpotensi menjadi pemicu timbulnya gangguan keamanan dan ketertiban, seperti ketidakseragaman dalam pelaksanaan tata laksana peradilan pidana, kelengkapan pemberkasan yang belum berjalan baik di Lapas/Rutan, serta pelayanan diversi yang belum optimal.

“Implementasi UU Pemasyarakatan di daerah perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut,” ucap Sylviana Murni membuka RDP Komite I DPD RI membahas implementasi UU NO 22/2022 Tentang Pemasyarakatan tersebut bersama Ketua Komite I Fachrul Razi dan Wakil Ketua Komite I Filep Wamafma, di Gedung DPD RI, Komplek Parlemen Senayan Jakarta, Senin (01/07/2024).

Lain halnya, Wakil Ketua Komite I Filep Wamafma memandang permasalahan sebenarnya bukan hanya terkait implementasi UU. Ia melihat masalah moral dan etika para penyelenggara kebijakan harus ditegakkan, karena itu modal dan prioritas utama dalam implementasi penegakkan hukum.

Baca Juga:  Bubur Sumsum Lezat: Resep Tradisional Dengan Sentuhan Modern

“Lembaga pemasyarakatan diciptakan untuk membina warga yang bermasalah ini jangan sampai malah jadi merusak,” beber Filep.

Pada forum ini, Guru Besar Kriminologi FISIP UI Adrianus Meliala menyatakan melalui lahirnya UU No 22/2022 Tentang Pemasyarakatan ini, diharapkan tidak bergulat pada hal-hal yang memang cenderung direspons secara reaktif saja, tetapi turun ke akar masalah yakni politik hukum terkait warga binaan pemasyarakatan dan pelaksanaan fungsi pemasyarakatan itu sendiri.

“Perlu komitmen menyeluruh dari penyelenggara kebijakan ini agar tidak terhambat dalam pelaksanaanya,” ungkap Adrianus.

Adrianus menambahkan, UU Pemasyarakatan sejatinya mampu mengatur tentang fungsi dan sistem pemasyarakatan yang paripurna. Namun struktur dan ortala bagi pelaksananya (yakni Jajaran Pemasyarakatan) tidak berubah, tetap seperti UU No. 12 Tahun 1995. Ia juga melihat, meski banyak hal baru termaktub dalam UU No. 22/2022 Tentang Pemasyarakatan, namun ada banyak pula hal baru yang belum masuk dan menunggu giliran pada saat revisi UU tersebut.

Baca Juga:  Dari Bukit Sulap hingga Peninggalan Megalitikum, Melacak Jejak Sejarah Kota Lubuk Linggau

“Perlu disegarkan kembali ide pembentukan Badan Pemasyarakatan Nasional, yang menjalankan fungsi dan sistem pemasyarakatan,” tambahnya.

Sementara itu, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyoroti terkait kondisi permasalahan di Lapas/Rutan yang masih berulang itu-itu saja. Boyamin mendapati masih marak kasus pungli, over kapasitas belum terbenahi, peredaran narkoba masih terjadi, kurangnya pelayanan kesehatan, keterlambatan eksekusi untuk tahanan yang sudah inkrah.

“Hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama dalam membenahi permasalahan ini,” tukas Boyamin.

Di akhir rapat, Ketua Komite I Fachrul Razi mengatakan melihat kondisi beberapa lapas ketika kunjungan kerja terkait UU Pemasyarakatan di daerah, Komite I menemukan bahwa semua permasalahan yang dibahas pada rapat ini nyata terjadi di lapangan. Ekspektasi dari lahirnya UU No 22/2022 Tentang Pemasyarakatan ini sangat tinggi, namun kondisi sistem yang berjalan di lapangan masih belum ada perubahan.

Baca Juga:  MPR RI Sosialisasikan Empat Pilar di Bengkulu, Sultan Ajak Generasi Muda Jadi Garda Terdepan

“Implementasi pelaksanaan dari UU Pemasyarakata ini pada kenyataanya belum mampu menjawab persoalan-persoalan yang ada,” pungkas Fachrul Razi.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan