Namun, ketika segala macam kepastian telah dihapuskan dari pikirannya, saat itulah dia tiba pada pemikiran yang menjelma menjadi salah satu konsep paling berpengaruh dalam sejarah filsafat: Cogito ergo sum.
Dalam sebuah langkah berani, Descartes mengukur keraguan terhadap matematika, bahkan menjelajahi kemungkinan bahwa realitas yang kita rasakan mungkin hanyalah ilusi yang diatur oleh kekuatan ilahi. Dalam kata-kata Descartes sendiri, “Tetapi apakah saya ini, tanya sang filosof? suatu hal yang dipikirkan. Apa itu hal berpikir? itu adalah sesuatu yang meragukan, yang mendengar, yang memahami, yang menegaskan, yang menyangkal, yang menginginkan, yang tidak menginginkan, yang juga membayangkan, dan yang merasakan” (Discourse on the method). Dalam pencariannya akan kepastian, ia mempertanyakan hakikat pemikiran itu sendiri.
Namun, dalam momen kritis ini, Descartes tiba pada kesimpulan epik: “Saya tidak dapat secara logis meragukan bahwa saya ragu.” Dalam kata lain, keraguan adalah bukti bahwa ada yang meragukan. Sejak saat itu, realitas pemikiran sendiri memaksakan dirinya pada subjek sebagai bukti yang tak terbantahkan.
Dari momen itu, lahir Cogito ergo sum, yang secara harfiah berarti “Aku berpikir maka Aku ada.” Ungkapan ini bukan hanya penegasan bahwa subjek berpikir, tetapi juga bahwa subjek ini ada. Ini adalah poin balik dalam sejarah pemikiran filosofis dan menjadi salah satu dasar bagi pengembangan filsafat modern.
Dalam konteks Cogito Descartes, kepastian ditemukan dalam kemampuan subjek untuk meragukan dan berpikir. Ini adalah penegasan eksistensi yang tak terbantahkan: ketika subjek berpikir, ia merasa dirinya ada.